Velma tidak pernah punya keinginan dilamar seseorang dengan cara berlutut di depannya. Namun Evan malah melakukannya. Pria itu bersimpuh dengan sebuah cincin berlian yang cantik. Mengharapkan kesediaan Velma untuk membagi hidup di masa depan bersamanya.
Velma datang ke rumah Evan sore itu karena kekasihnya mengaku kurang sehat dan terpaksa berbaring di ranjang seharian. Sepulang dari kantor dan mampir sebentar ke rumah kontrakannya untuk mandi dan berganti pakaian, Velma bergegas mengunjungi Evan. Kedua tangannya dipenuhi makanan, mulai dari roti, biskuit, hingga buah. Semua kesukaan Evan.
“Sayang... aku cuma kurang sehat, bukan kelaparan,” Evan tergelak saat membukakan pintu.
“Aku hanya berjaga-jaga,” Velma beralasan sambil membawa semua barang bawaannya di dapur. Perempuan itu tidak bisa tidak kaget saat melihat Evan sudah menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Velma tidak pernah bertanya siapa yang memasak makanan lezat itu karena cemas hanya akan merusak suasana. Yang jelas, Velma sangat menikmati saat yang menurutnya begitu romantis itu.
Kejutan tidak berhenti hanya sampai di situ. Evan tiba-tiba berlutut dan membuat mata Velma berkaca-kaca. Akan tetapi perempuan itu berusaha keras agar air matanya tidak melompat ke luar dan membasahi pipinya. Velma tidak ingin kehilangan momen istimewa itu hanya karena pandangannya mengabur oleh air mata. Janji Evan untuk pelan-pelan merencanakan masa depan bersama, kini tampaknya mulai diwujudkan.
“Kamu serius, Van?” tanyanya tak percaya.
“Sejak awal kita pacaran, aku kan sudah bicara tentang komitmen, hubungan yang serius. Kamu kira aku cuma merayu dan bicara omong kosong, ya?”
Velma tertawa di antara rasa haru yang membuatnya hampir terteguk. “Tapi... aku tidak mengira akan secepat ini. Kita baru pacaran beberapa bulan.”
“Memangnya kenapa kalau kita baru beberapa bulan pacaran? Usia kita sudah lebih dari cukup, kan? Kita juga merasa klop, cocok. Keluargaku pun sangat menyukaimu. Apalagi yang harus ditunggu? Sejak awal kita sudah sepakat untuk melangkah ke sana, kan? Sekarang, aku cuma ingin menjadikannya secara resmi.” Evan pun mengulangi permohonannya. “Maukah kamu menikah denganku, Sayang?”
Kali ini, Velma mengangguk tanpa berpikir lagi. “Tentu saja aku mau, Van.”
Sejak hari itu, mimpi Velma terasa hampir nyata. Akhirnya dia punya kesempatan untuk membangun keluarganya sendiri. Velma akan memiliki suami yang mencintainya dengan sungguh-sungguh. Dia juga berharap mereka akan dikaruniai Tuhan anak-anak yang sehat, pintar, dan menawan.
Sebelum bertemu Evan, Velma tidak punya keberanian untuk membangun hubungan dengan lawan jenisnya.
Mungkin dia teradang oleh ketakutan yang selama hidup tidak pernah benar-benar diakuinya, yakni ketakutan bahwa sebuah hubungan asmara bisa berakibat buruk jika tidak memiliki kendali yang cukup untuk tetap berada di jalur yang tepat.
Seperti yang sangat mungkin terjadi pada kedua orangtuanya.
Belum lagi fakta bahwa Velma mengetahui dirinya sengaja dibuang. Beban psikologis yang harus ditanggungnya tidaklah mudah. Bertahun-tahun Velma terkurung dalam perasaan negatif yang menyiksa. Bahwa kehadirannya di dunia ini tak diinginkan, bahwa ayah dan ibunya pun sama sekali tidak mencintainya. Perasaan terbuang yang mengikatnya menjadikan Velma menutup diri dan kadang merasa malu dengan keberadaannya. Saat melihat teman-teman sekolahnya dijemput salah satu orangtuanya, hati Velma berdarah-darah.
Lagi-lagi Bunda Mema yang menjadi penyelamatnya.
Tentunya dibantu para pengurus Buah Cinta lainnya. Mereka yang berkali-kali mengingatkan bahwa Velma adalah ciptaan Tuhan yang berharga. Bahwa dia harus belajar mencintai diri sendiri dan menerima masa lalu yang tak bisa diubah dengan lapang dada.
Hingga kemudian Velma mengenal Kartika, teman sekelasnya semasa SMP. Hubungan mereka tidak dekat, hanya saling sapa ala kadarnya. Lalu, seisi sekolah mendadak gempar tatkala Kartika masuk ke rumah sakit karena luka bakar yang sangat serius. Kartika hanya bertahan selama empat hari di bawah perawatan dokter. Semua upaya medis untuk menyelamatkannya berujung pada kegagalan.
Velma terpukul dan kaget luar biasa saat tahu penyebab Kartika mengalami luka bakar. Ternyata pelakunya adalah ibu kandung gadis itu sendiri. Terungkap juga bahwa sejak kecil Kartika dan kedua kakaknya kerap disiksa oleh orangtua mereka. Pada titik itu, Velma seolah terpental ke pemahaman baru. Bahwa orangtua yang tak membuang anak-anaknya pun belum tentu mencintai darah dagingnya.
Peristiwa itu—tanpa terduga—menjadi semacam obat penawar bagi Velma. Perlahan, dia mulai mengamini kata-kata Bunda Mema yang diucapkan selama bertahun-tahun.
“Cinta bisa datang dari siapa saja, bukan harus dari orangtua. Kamu ditinggal mungkin karena ibumu punya kesulitan sendiri, Nak. Dia belum mencarimu, mungkin juga ada alasannya. Jangan menyusahkan diri menebak-nebak apa yang tidak kita tahu pasti. Yang jelas, Bunda sangat mencintai dan menyayangimu. Kamu juga harus mencintai diri sendiri. Karena kamu adalah anak yang berharga, Vel.”
Walau luka Velma takkan pernah hilang selamanya, tapi dia mulai berubah. Velma muda membenahi hati dan perasaannya perlahan-lahan. Mengikis kemarahan yang dirasakannya untuk kedua orangtua yang tak pernah dikenalnya, hingga dia mulai bisa melihat ibunya dengan perasaan cinta yang tumbuh perlahan. Bagaimanapun, perempuan itu sudah berjasa menghadirkannya ke dunia. Kini, Velma bisa berlama-lama memandangi foto ibunya tanpa perasaan marah lagi.
Dia hanya mengenali kerinduan yang semakin menggerogoti jiwanya.
Seiring waktu yang terus mendewasakannya, Velma mulai bisa berdamai dengan kenyataan. Dia mencoba melihat hidupnya dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Dia membuka mata selebar-lebarnya dan menyaksikan bahwa Tuhan sudah memberinya banyak, sehingga dia tidak berhak mengeluh terus-menerus. Hidup memang tidak bisa benar-benar sempurna.
Akan tetapi, semua itu tak cukup mampu menjadi bekal bagi Velma untuk menerima perhatian dari lawan jenisnya. Sejak remaja, dia sudah mulai didekati lawan jenis. Frekuensinya kian tinggi setelah Velma memasuki usia dewasa.
Namun dia tak pernah siap menyambut perhatian itu. Selalu ada ruang kosong di dadanya yang mempertanyakan apakah memang benar seorang lelaki bisa mencintainya dengan tulus? Sampai akhirnya Evan menunjukkan kegigihan untuk membuat Velma percaya bahwa dia pantas dicintai.
Awalnya Velma diliputi keraguan sekaligus kecemasan. Apalagi dia memiliki cukup pengetahuan tentang kebiasaan Evan berganti pasangan. Bagaimanapun juga, lelaki itu pernah mendua di belakang Shirley. Evan sangat tahu letak pesonanya dan sepertinya tidak keberatan untuk memanfaatkan hal itu.
Namun kemudian Evan berusaha keras untuk meyakinkan Velma bahwa dia sudah berubah. Hari-hari selanjutnya membuat Velma merasa bahwa dia tidak menjejakkan kaki di bumi. Dunianya dipenuhi bintang berkilau. Mereka mulai mengkompromikan konsep pernikahan yang akan dipilih.
Aara membawakan puluhan contoh kartu undangan yang semuanya cantik dan membuat Velma merasa lengar. Aara sampai mengusulkan untuk membuat undangan dengan desain berbeda karena Velma tidak bisa membulatkan keputusan.
Velma sudah merancang bagaimana kehidupannya kelak setelah menikah. Dia tidak akan berhenti bekerja karena tidak mau bergantung sepenuhnya secara finansial kepada Evan. Bukan karena penghasilan Evan yang tidak memadai—calon suaminya itu bisa memberinya hidup yang lebih dari sekadar cukup—tapi Velma hanya merasa rentan jika tidak memiliki kendali akan masalah keuangan.
“Tidak ada yang salah jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya dan mengurusi keluargamu kelak, Vel. Tapi juga tidak ada yang salah jika kamu memilih tetap berkarier meski sudah menikah. Masing-masing ada untung dan ruginya. Tapi menurut Bunda, alangkah baiknya jika seorang perempuan tetap bisa mandiri dan tidak melulu bergantung kepada suaminya,” ujar Bunda Mema, memberi nasihat yang dia pegang teguh hingga sekarang.
Makin dewasa, Velma kian mengerti maksud kalimat-kalimat Bunda Mema. Dia pun setuju bahwa perempuan tidak perlu meninggalkan karier ketika akhirnya berkeluarga. Perempuan tetap membutuhkan tempat yang akan memberi keleluasaan untuk mengembangkan dirinya. Untungnya Evan tidak keberatan dengan keinginannya itu.
Perlahan, dia mulai memandang rumah Evan sebagai rumahnya juga. Kelak, dia akan pindah ke sana setelah mereka resmi menikah. Keduanya bahkan pernah membicarakan tentang jumlah anak yang akan meramaikan rumah tangga mereka.
“Aku cuma ingin punya dua anak, Van. Laki-laki dan perempuan, kalau bisa. Aku ingin anak-anak kita mirip denganmu.”
“Stop! Bukan itu yang kuinginkan. Aku justru lebih suka kalau anak-anak kita mirip kamu, Sayang. Kalau soal jumlah dan jenis kelamin, aku tidak akan mengajukan protes. Tapi, anak perempuan lebih disukai,” Evan menyeringai.
“Kamu yakin ingin melepaskan hak untuk mendapatkan anak yang mirip denganmu?”