Babe, it’s going to be alright
Let’s hope that time is on our side
Let’s through it all, and we might be alright
Alright – TheSigit
Hidup di dalam keluarga normal bukan hanya impian anak-anak broken home. Nyatanya, hidup bersama keluarga yang kompleks juga menyesakkan. Aku sering berandai jika saja Romo beranggapan keluarga ideal adalah seperti yang ada pada logo KB, hidupku pasti lebih indah. Romo, Ibu, dan satu saudara. Cukup.
Tapi ibuku ada empat. Aku anak kandung dari Ibu kedua. Anak mereka jumlahnya delapan, dan seluruhnya perempuan. Jika saja keempat ibu dan ketujuh saudariku saling mengasihi sebagai satu keluarga, mungkin cinta di hidupku bisa meluber-luber tak terbendung. Tapi nyatanya tidak. Kompetisi antar saudari untuk mendapatkan perhatian Romo sama sengitnya dengan tingkah polah para Ibu untuk berlomba menjadi nyonya terbaik di padepokan kami.
Romo, begitu aku memanggil ayah, adalah seorang dalang tersohor di seluruh Jawa. Bahkan bisa dibilang di seluruh dunia. Beliau sudah malang melintang menjelajah berbagai negara untuk pertunjukkan wayang. Bahkan memiliki lisensi pendidik di beberapa negara. Di Indonesia sendiri, selain memiliki padepokan sebagai sanggar wayang, Romo merupakan guru besar jurusan pedalangan di kampusku. IKSURA, Institut Kesenian Surakarta.
Aku sendiri adalah sinden. Karena tumbuh besar di lingkungan seniman wayang, hidupku tak jauh dari pewayangan dan karawitan. Meski sudah sering ikut dalam pertunjukkan, Ibu bersikeras supaya aku tetap melanjutkan pendidikan setidaknya sampai sarjana. Satu, supaya pendidikanku lebih unggul daripada Mbak Ajeng, si putri pertama. Dua, supaya aku lebih berwawasan dan bisa mejaring relasi lebih banyak saat di bangku perkuliahan, yang mana menjadikanku lebih unggul dari Mbak Ajeng si putri pertama. Tiga, supaya lebih gaul dan bisa dipamerkan ke tiga Ibu lainnya, yang mana menjadikanku lebih unggul dari Mbak Ajeng.
Sudah kubilang, kan, keluargaku sangat kompetitif. Obsesi terbesar Ibuku adalah menjadikanku lebih unggul dari Mbak Ajeng. Mulai dari mengikutkanku ke lomba-lomba sejak kecil. Mengirimku ke sekolah kepribadian saat SMP. Melatihku memainkan seluruh alat musik gamelan. Sampai memberiku akses keluar-masuk klinik kecantikan miliknya kapanpun aku mau. Meskipun terkesan berlebihan, hampir seluruh Ibuku melakukan hal yang sama untuk masing-masing anak kandungnya.
Sebagai pewaris pertama, Mbak Ajeng adalah kompetitor terbaik kami. Segala yang ada padanya menjadi standar bagi kami adik-adiknya. Wajahnya yang paling ayu, tutur kata dan kepribadian yang sempurna, serta tindak tanduk yang bagai tak bercela. Ditambah kemampuannya nyinden dan kelihaiannya memainkan gamelan menjadikannya tak tertandingi.
Masalahnya adalah, dari delapan putri Romo, hanya satu yang akan diberi warisan Sanggar Padepokan Ageng. Dari awal kami tahu, Mbak Ajenglah orangnya. Seluruh kriteria ada padanya. Tinggal satu syarat lagi yang belum terpenuhi. Yaitu menikah dengan seorang dalang. Saat itu terjadi, selesailah kompetisi ini.
Aku selalu berdoa supaya dia segera mendapatkan dalang yang tepat. Usianya sudah matang, dan kudengar dia akan segera di pinang. Aku sungguh sudah muak dengan segala bentuk upaya Ibu untuk merebut posisi Mbak Ajeng. Aku ingin ini segera berakhir. Jika saja aku bukan putri kedua, pasti Ibu juga sudah menyerah seperti Ibu-Ibuku yang lain.
Aku bukannya sok suci tidak keblinger warisan. Siapa sih yang nggak mau dikasih warisan sekeren Sanggar kami? Namanya udah tersohor kemana-mana. Siapapun yang mewarisinya, tinggal menjalankan saja. Harta dan status sosial langsung mengikuti. Otomatis.