Fallin' In Rock

Surya Ndadari
Chapter #2

2 - Halo, Kin!

Kuliah di kampus Seni cukup berbeda dengan kuliah di kampus lain. Hal yang paling kontras adalah mahasiswa dan dosennya yang kelewat santai. Mulai dari cara berpakaiannya sampai cara kami berinteraksi. Kalian akan banyak menjumpai mahasiswa yang hanya memakai kaos oblong dan celana jeans di sini. Bahkan ada yang hanya memakai legging dan sandal, untuk kuliah praktek mahasiswa jurusan tari. Kami juga tidak akan kaget dengan dosen yang mengajar sambil merokok, duduk di atas meja dan memanggil mahasiswa dengan kowa-kowe.

Meskipun demikian, jangan pernah meragukan kualitas didikan di sini. Para dosen yang sak-sak’e itu kebanyakan adalah maestro di bidangnya. Kelima indra mereka sudah menyatu dengan seni.

Aku pernah berada di kelas praktek gamelan, yang entah kemana dosennya. Namanya Pak Pranoto. Dia selalu membiarkan kami berlatih sendiri setelah materi diberikan. Lalu orangnya nongkrong di kantin bareng para mahasiswa abadi. Pertemuan berikutnya, entah bagaimana dia bisa tahu siapa yang kemarin salah, siapa yang tidak menguasai, siapa yang kelewatan satu ketukan, bahkan siapa yang membalas WA dari pacarnya saat latihan.

Perlu kalian ketahui, kelas kami tidak ada CCTV, dan jarak gedung karawitan dengan kantin adalah tiga gedung. Entah darimana dia tahu. Yang jelas, meskipun boleh santai, di kampus ini tidak boleh main-main. Aura mistis dan norma-norma kejawen masih sangat kental melekat di setiap lini.

Selain fokus kuliah dan nyinden di sanggar, kegiatan yang menyita banyak waktuku adalah mengurus UKM Karawitan. UKM di sini sangat banyak dan semua tertampung dalam satu gedung. Lantai satu adalah sekretariat BEM, DAM dan sebuah ruang seminar. Lantai dua adalah lantai bidang olahraga, ada sekre UKM Badminton, Futsal, Panahan, dan Karate. Lantai tiga untuk bidang ketahanan, ada MASCA (Mapala) dan Menwa, juga bidang seni, ada UKM Ketoprak dan Teater. Dan terakhir adalah bidang musik yaitu UKM Keroncong, UKM Dangdut, UKM Karawitan dan UKM Band. Kami ditempatkan di lantai bawah tanah. Katanya supaya tidak berisik.

Mereka berhasil, kok. Setiap masing-masing UKM Musik sedang latihan, suaranya tak pernah bocor sampai lantai di atasnya. Hanya saja kami sesama penghuni lantai bawah saling terganggu satu sama lain. Peredam suara pada masing-masing studio tampaknya dibuat asal-asalan. Atau mungkin menggunakan kualitas yang jelek. Suara saat latihan selalu bocor ke ruangan di sebelahnya.

Masalah ini pernah kami bawa sampai rektorat. Kami pernah menuntut perbaikan dinding peredam suara dan upgrade alat musik. Tapi tentu saja rektorat hanya diam seribu bahasa. Mana mau mereka mengeluarkan anggaran hanya untuk memperbaiki fasilitas UKM. Yang ada, waktu itu mereka malah ketahuan membeli sebuah speaker aktif seharga puluhan juta, hanya untuk senam karyawan rektorat tiap jumat pagi. Aku melihat sendiri bagaimana putus asanya anak-anak UKM Band menyaksikan speaker itu ditancapkan ke VCD.

Sore ini setelah jam perkuliahan berakhir, aku langsung ke sekre UKM. Seharian ini Grup WA UKM karawitan heboh dengan kabar yang dibawa oleh Andri, salah satu anggota kami. Jadi, sekitar sebulan lalu kami taken kontrak untuk mengikuti pertunjukan di Taiwan. Istilahnya dapet PY (baca: pe-ye) alias payu. Ini PY pertama UKM Karawitan ke luar negri di masa jabatanku sebagai ketua. Jadi, kami mempersiapkan latihan dan segala tetek bengek lain dengan penuh dedikasi. Tapi hari ini, tiba-tiba saja kami dapat kabar PY kami gagal.

“Kemarin itu ternyata si Andri sama pihak sana enggak ngomongin budget fee kita. Parah, kan!”

“Andri mana?” tanyaku dengan nada kesal. Aku kecewa bukan main.

“Dia nggak berani dateng, Kin,” jawab Sani. Dia satu-satunya mahasiswa dari fakultas seni rupa yang ikut UKM Karawitan.

“Bagus, kalau dia dateng bisa mati gara-gara kita hajar rame-rame.” timpal anggota kami yang lain.

“Mereka nggak mau nego harga kita?” tanyaku.

“Jadi kemarin waktu kita tahu nggak ada yang ngomongin fee di awal, aku inisiatif nyuruh Andri buat dealing harga. Ternyata ketinggian buat mereka. Andri bukannya ngajuin negosiasi, dia malah sok-sokan sombong. Bilang kalau jam terbang kita tinggi dan lainnya.”

“NDLOGOK…!” seruku dan beberapa anggota lain. Kami mulai merapalkan sumpah serapah. Latihan kami selama sebulan, sia-sia. Seluruh alat yang udah kami sewa, juga pengurusan passport dan lainnya harus ditangguhkan.

“Coba kita hubungi lagi. Kontrak ulang? Kira-kira masih bisa nggak sih?” tanyaku setelah suasana mulai kondusif lagi.

“Aku tadi langsung coba kontak Sando, orang Keitha yang terakhir hubungi kita buat cancel. Dia bilang udah terlanjur kecewa sama omongannya Andri. Aku udah minta maaf, udah jelasin kalau ada salah paham. Dia bilang mau diobrolkan sama orang-orang Keitha dulu,” jelas Sani.

“Berarti masih ada harapan? Ini kita masih nunggu si Sando, kan?” seruku.

Ada sepercik harapan. Semuanya menengok kearah Sani, dengan mata penuh binar. Kami masih punya kesempatan. Ini masih bisa diupayakan. Aku sampai harus menahan nafas saat Sani menjawab pertanyaanku.

Lihat selengkapnya