Selain seorang pesinden senior yang jam terbangnya hampir sama tingginya dengan Romo, Ibuku punya bisnis lain. Beliau hobi beternak kos-kosan. Totalnya, tahun ini Ibu memiliki 27 kos-kosan yang tersebar di Solo, Jogja dan Semarang. Dari 27 itu, salah satunya adalah milikku.
Kos-kosan yang kupunya adalah kado dari Ibu saat usiaku 17 tahun. Kosan inilah yang kutempati selama kuliah. Bukan kos premium, tapi cukup layak untuk kami mahasiswa Seni. Bangunannya dua lantai dan cukup besar, membentuk huruf U. Lantai bawah untuk laki-laki, lantai atas untuk perempuan. Bagian tengahnya sengaja dibuat lebar dan kosong melompong. Ini adalah fasilitas untuk mahasiswa tari latihan. Pada bagian sayap kiri dan kanan, ada kamar yang ukuranya tiga kali lebih besar dari kamar lain. Sisi kanan di sewa oleh beberapa mahasiswa seni rupa untuk studio lukis. Yang sisi lainnya adalah kamarku.
Kosanku tidak ada jam malam. Tahu sendiri, seniman kerjanya malam kayak kalong. Lembur nglukis lah. Bikin maket lah. Sibuk latihan tari lah. Atau banyak juga yang pulang jam 1-2 malam sehabis pulang PY. Nah, setelah subuh barulah kos mulai sepi.
PRku pada kosan ini adalah halaman depan yang tak terurus. Meskipun ada Pak Ramli yang bertugas membersihkan area kos, tapi tetap saja halaman depan terlalu jelek dipandang. Aku masih menimbang untuk menjadikannya taman dengan kolam ikan ala-ala jepang gitu, atau membangun beberapa kios di sana. Sayangnya uang yang ku kumpulkan dari sewa kos beberapa setahun terakhir ini, terpaksa kugunakan untuk nalangi keperluan UKM Karawitan yang mau ke Taiwan tempo hari.
Iya, yang gagal itu.
Bener, yang kayaknya nggak bakal dibalikin itu.
Kampret, emang si Andri.
“Kin, Kinara!” panggil seseorang dari luar kamarku.
“Apaan, buka aja enggak dikunci,” jawabku.
Masuklah Dandi si anak fotografi yang mukanya mulus kayak jalan tol. Dia ini ketua UKM Dangdut. Penghuni kos paling royal di sini. Sayangnya dia duda, meskipun anaknya lucu banget Kalau masih jaka, mungkin udah kupepet dari dulu. Ganteng, tau!
“Aku denger dari Rei soal Taiwan,” katanya membuka obrolan. Sempat-sempatnya dia meraih setoples kacang mete di depan meja TV sebelum duduk di sofa sampingku.
“Kalau Cuma mau ngomongin itu, keluar aja, Dan! Keluar…! Bikin tambah bad mood aja.”
“Haha…, yaudah enggak ngomongin itu. Kalau ngomongin Rekta? Aku denger kamu nglabrak Rekta kemarin?”
“Rekta siapa…?” tanyaku pura-pura bego. Mana mungkin aku lupa cowok ganteng kelakuan kek setan gitu.
“Itu lho, ketua UKM Band yang baru. Anak pedalangan angkatan 2012. Katanya anak-anak waktu kalian rapat diganggu sama dia?”
“Oh Rekta yang itu. Iya, aku inget. Jadi dia mahasiswa abadi? Angkatan 2012 kok belum DO?”
“Dia cuti dua tahun. Semester ini aktif lagi.”
“Oh. Pantes nggak pernah lihat.”
“Jadi, gimana nglabraknya?” tanya Dandi. Kacang meteku tinggal separuh.
Aku menceritakan dikacanginnya labrakanku. Dandi ketawa ngakak melihatku super dongkol. Sesekali dia mencuri-curi pertanyaan perihal gagalnya PY kami. Akhirnya kuceritakan semuanya sekalian.
Barulah ketika sampai pada ceritaku mengenai dana talangan yang akan sulit dilunasi, Dandi mulai ngerem pertanyaan. Apalagi saat aku menyinggung soal dana itu kuambilkan dari tabungan uang sewa kosan. Dia makin nylimur, membelokkan arah pembicaraan. Aku memang sengaja menyinggung-singgung soal itu. Dandi masih menunggak uang kos tiga bulan.
“Eh, kamu tau nggak sih Rekta tuh artis indie yang lagi naik daun,” kata Dandi.
“Mosok? Aku nggak pernah tau tuh.”
“Rame Kin di spotify! Di Rolling Stone Indonesia juga pernah diulas. Beberapa kali manggung di Solo, loh.”
“Rolling Stone apaan?”
“Majalah musik, astaga! Makanya, keluar dari goa! Nggak di kampus, nggak di kerjaan nggak di kamar dengerinnya klenengan sambil ngemil kembang teros sih.”
“Siapa bilang. Aku juga dengerin Danila, Payung teduh, sama yang lain juga. Yang nyaman-nyaman di denger gitu. Lagian, si Rekta bermusiknya ngapain sih? Solois? Ngeband?”
“Ngeband. Namanya The Digit. Pasti udah pernah denger, kan?”
“The Digit? Band rock yang kemarin buka konsernya Shila on7 di Manahan?”