Kupu-kupu yang lucu, Kemana engkau terbang,
Hilir mudik mencari bunga-bunga yang kembang,
berayun ayun pada tangkai yang lemah
tidakkah sayapmu merasa lelah?
Bayangan itu masih terlampau jelas untuk diingat. Taman bunga, tempias hangat cahaya sore, dan langkah-langkah dari kaki mungil yang dibalut sepasang sepatu cantik itu berlari kesana kemari. Lincah menyusuri rerumputan sehabis hujan.
Bau tanah basah menguap di udara. Mendamaikan. Menyejukkan. Gadis kecil itu tak hentinya menyanyikan lagu dengan riang. Dengan gembira, sepenuh hatinya. Sesekali dia memutar badan, sambil jari-jari mungil itu sedikit mengangkat rok gaun berwarna jingga yang membalut tubuhnya.
Tak ada lara. Tak ada luka. Semuanya begitu lapang dan menyenangkan. Si gadis kecil sempat menghentikan sejenak langkahnya. Memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara sore ini. Membiarkan bahagia menyeruak memenuhi dadanya.
Dia lalu membayangkan, ada dua pasang sayap berbulu putih terang yang tumbuh di punggungnya. Membawanya melayang. Terbang jauh ke atas langit. Menembus mega. Menyambut rembulan yang sejenak lagi akan menguasai panggung tak berbatas bernama angkasa.
Kupu-kupu yang elok,
bolehkah saya serta mencium bunga-bunga yang semerbak baunya?
Sambil bersenda, semua kauhampiri,
bolehkah kuturut bersama pergi?
Lalu suara lain menghampiri indera pendengarannya. Si gadis kecil menoleh. Di jauh sana, telah berdiri seorang wanita yang memiliki sepasang mata serupa dirinya. Tangan si wanita melambai-lambai, memintanya untuk mendekat.
“Maya! Maya, sayang!” Namanya dipanggil. Si gadis kecil mendekat, lalu menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan hangat yang sangat dia kenal itu. “Suara kamu bagus sekali, Maya. Mama suka kalau mendengar Maya menyanyi.”
Si gadis kecil tersenyum. Bibirnya yang mungil itu merekah, bagaikan bunga yang bermekaran di musim semi. “Beneran, Ma? Mama suka Maya menyanyi?”
“Beneran, sayang. Semua orang juga suka kalau denger Maya menyanyi. Kakek, nenek, Om Danu, Tante Mona, Mang Idris, semuanya suka dengar suara Maya.”
Namun, entah mengapa, tetiba senyum indah itu sirna dari bibir si gadis kecil. “Tapi Papa suka marah kalau Maya menyanyi. Papa enggak suka Maya menyanyi.”
Ada diam yang lalu tercipta untuk beberapa jeda. Si wanita membiarkan matanya kosong memandang jauh ke depan. Bibirnya bergetar, sambil tangan kanannya terus membelai rambut lurus sebahu si gadis kecil.
“Kamu ikut Mama, ya sayang? Kita berdua akan pergi jauh. Naik kereta. Maya suka kan, naik kereta? Disana nanti, Maya akan punya rumah baru, kamar baru, boneka baru dan teman-teman baru. Maya juga bisa menyanyi kapanpun Maya mau.” Air mata itu tak lagi bisa dibendung.
“Tapi, Papa...”
Tapi si wanita tak menghiraukan kerisauan yang tergaris di wajah mungil itu. “Maya sayang sama Mama, kan? Maya mau ikut sama Mama, kan?”