Tut...tut...tut!
Suara kereta api ini seakan memiliki irama dan nada di telinga Maya kecil. Ada kesinambungan dan komposisi yang terjalin di antara bunyi bel, deru roda yang beradu dengan rel dan suara-suara berisik para penumpangnya.
Waktu kereta itu melaju membawanya pergi jauh, dan semakin menjauh dari sang Papa, Maya masih berumur sepuluh tahun. Dua bulan lagi sebelas. Di waktu itu, dia belum menyadari bahwa dia memiliki kepekaan yang spesial terhadap berbagai bunyi.
Jika diingat lagi, kedua orangtuanya tak memiliki sedikitpun darah seni. Sang Papa adalah pedagang furnitur yang ulet dan terkadang keras dalam mendidik keluarganya. Seorang pria yang selalu bercerita kepada siapapun, bahwa dia bermimpi suatu saat nanti Maya akan menjadi seorang dokter. Mungkin karena itulah, Papanya selalu memarahi dan melarang Maya, walaupun hanya untuk sekadar bernyanyi di kamar mandi. Dia tidak ingin anak perempuan semata wayangnya itu menjadi seniman di usia dewasanya. Dan yang tak Maya tahu adalah, sang Papa sampai pernah melempar piring makannya ke tembok hingga pecah berkeping-keping, ketika tanpa sengaja mendengar Maya membisikkan sebuah lirik lagu yang baru saja di dengarnya di televisi.
Bukan karena dia membenci Maya, tapi sang Papa benci untuk mengakui, bahkan dalam gumamanpun, suara Maya terdengar begitu merdu. Dia membenci kenyataan yang selama ini dia sangkal sekuat mungkin; bahwa Maya memang memiliki bakat itu.
Sedangkan Mamanya, wanita berwajah cantik namun tampak selalu muram. Seorang ibu rumah tangga, yang waktunya nyaris selalu habis dengan berada di dekat Maya. Mama jugalah yang menjadi orang pertama yang menyadari bahwa sekuat apapun disangkal, bakat itu memang tumbuh dalam diri Maya.
Maya selalu bernyanyi tepat setelah bangun tidur, ketika mandi, berdansa sambil menirukan gaya penyanyi di televisi, bahkan sampai ketika dia kembali ke peraduan, Maya harus dibuai dengan lagu favoritnya, Kupu-Kupu, agar bisa terlelap.
Mama lalu tak mau lagi lari dari kenyataan. Anaknya memiliki bakat, dan sebagai orang tua yang baik, seharusnya dia mendukung apapun yang Maya suka. Apapun yang Maya ingin lakukan. Dari situlah, awal dari jurang perbedaan yang memisahkan antara Mama dan Papanya.
Sampai kapanpun, Maya tidak akan menjadi penyanyi. Dan jangan coba-coba mendekatkan dia dengan musik, nyanyi atau apapun! Dia akan jadi dokter, dia akan kuliah di kedokteran nanti!
Hingga, jurang itu semakin hari, semakin melebar. Maya tak tahu apapun, kecuali semakin seringnya suara barang-barang yang pecah karena dilempar dan pipi Mamanya yang sering lebam.
Tapi dia anak kita! Kenapa kamu tidak pernah bersabar, menunggunya hingga waktu yang tepat dan menanyakan apa yang dia mau?!
Papanya juga semakin jarang membelai rambutnya, menimang-nimangnya, mampir ke kamar dan membenarkan letak selimutnya yang terdorong kaki terlalu ke bawah. Malahan, Papa semakin sering pulang ke rumah lewat larut malam. Bertemu dengan Maya di pagi hari, dan hanya mengucap sepatah dua patah kata.
Jangan menyanyi lagi, atau kamu tidak akan Papa anggap sebagai anak!
Bukannya Maya tidak mau, tapi dia merasa tak memiliki daya untuk berhenti melantunkan nada-nada dari mulutnya. Semua itu seakan berjalan dengan sendirinya.
Pernah sekali, Maya ingin menuruti Papa. Berhenti bernyanyi. Tapi setiap kali sebuah nada pendek tertangkap oleh telinganya, entah itu dari manapun datangnya, Maya tak menginginkan hal lain kecuali mengikuti nada itu dan bernyanyi. Sayangnya, Papa tidak tahu itu. Papa tak pernah memberinya kesempatan untuk bicara.
Hanya Mama. Hanya Mama yang mengerti bagaimana Maya tak bisa hidup tanpa nada-nada di sekelilingnya. Wanita sendu yang sering menangis, yang kini membawanya menaiki kereta api yang terus melaju kencang. Entah akan berhenti di mana.
Dari balik jendela, Maya kecil menatap areal persawahan yang menguning terbingkai dengan begitu indah. Bagai lukisan yang terus berjalan. Terus berganti. Sedangkan nada yang terkomposisi dari suara-suara yang dia dengar dari sekitarnya, kian lama kian membuai. Membuatnya terlena dalam alunan.
Kereta api ternyata juga bisa bernyanyi.
* * * * *
Tom resah bukan main. Semalaman, setelah bertemu Maya, dia susah sekali untuk tidur. Ingatan tiga bulan lalu tentang seorang gadis cantik dengan long dress berwarna merah yang menyanyikan Donna, Donna milik Joan Baez dalam sebuah pagelaran teater di Gedung Kesenian Kota, terus menganggunya.
Tak banyak dia menyanyi. Hanya beberapa bait saja, sebelum sisanya diambil oleh pemain lain.
Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.