Sudah dua jam aku berada di café ini bersama Peter, sahabatku sekaligus manager di restaurantku. Aku dan Peter sedang menunggu kedatangan seseorang yang telah membuat janji dengan kami. Peter akan melangsungkan pesta pertunangannya dengan kekasihnya minggu depan di restoranku.
Aku memiliki restaurant khas Indonesia di pinggiran kota New York ini. Mempunyai bisnis resto sudah menjadi cita-citaku sejak kecil. Ayahku penduduk asli kota New York dan Ibuku orang Indonesia, orang Jawa lebih tepatnya. Aku lahir di Indonesia dan langsung dibawa oleh orang tuaku tinggal di sini hingga aku remaja. Aku mengahbiskan masa SMA dan kuliahku di Indonesia dan tinggal dengan paman dan bibiku di sana. Kemudian aku melanjutkan kuliah di Columbia University, NY, untuk mendapatkan gelar Master di sini.
Di sinilah aku sekarang membuka restaurant Indonesia di luar negeri. Hal yang sangat aku banggakan. Karena mungkin banyak warga Negara Indonesia yang tinggal disini rindu akan suasana Tanah Air mereka. Sehingga banyak orang Indonesia maupun orang asing pecinta masakan Indonesia yang dapat kalian jumpai di restaurantku ini.
Kembali ke permasalahan saat ini. Kekasih Peter adalah orang Indonesia. Namanya Desi. Mereka sudah berpacaran selama kurang lebih dua tahun aku rasa. Untuk pesta pertunangan ini Peter yang akan mengurus tempat dan dekorasinya dengan dibantu aku si empunya restaurant karena Desi sangat ingin mengadakan pesta pertunangannya di sini.
Saat ini aku dan Peter menunggu orang yang akan mengurus bunga-bunga untuk dekorasi pesta Peter. Tetapi sudah dua jam orang itu belum juga muncul di hadapan kami. Peter yang memberiku nomor orang itu agar kuhubungi.
Sudah berkali-kali aku meneleponnya tetapi tidak diangkat. Peter malah asyik berchat ria dengan seseorang yang ku tebak itu Desy. Aku jadi pusing sendiri. Aku tidak suka menunggu. Berbagai usaha aku lakukan agar aku tidak bosan menunggu dengan memperhatikan keadaan sekitarku.
Hujan mulai turun membasahi kota New York. Aku melihat orang berlalu lalang di luar café melalui jendela. Orang-orang sedang menghindari hujan dan membuka payung-payung mereka. Sudah seminggu ini hujan selalu mengguyur New York.
Ada seorang laki-laki yang masuk ke café ini dengan mantel coklat yang sedikit basah. Kuperhatikan laki-laki itu menuju wanita yang sudah menunggunya di sudut ruangan café ini. Hanya ada beberapa pengunjung sore ini. Akhir-akhir ini aku sering ke café ini karena kulihat café ini unik. Semua dekorasinya serba jamur. Aku suka suasana café ini yang tenang dan menghibur karena ada live music.
Kemudian seorang gadis masuk tak lama setelah laki-laki bermantel coklat. Gadis itu melipat payungnya dan menaruhnya di dekat pintu masuk. Gadis itu berjalan menuju dapur café ini. Mungkin gadis itu pekerja paruh waktu di sini, pikirku.
Aku mengalihkan pandangan ke hal lain yang ada di café ini sampai aku merasa bosan lalu aku mecari hiburan untuk diriku sendiri. Live music di café ini belum ada. Mungkin memang belum saatnya penyanyinya bernyanyi di panggung mini di sudut café ini.
Ringtone ponselku berbunyi. Ku lihat pesan singkat dari Bella, orang yang berjanji menemui aku dan Peter di café ini. Aku kesal bukan main membaca pesan darinya.
“Inilah ulah orang yang kau percaya, Peet,” ucapku geram sambil menunjukkan isi pesan singkat yang dikirim Bella.
Peter terbelalak sesaat dan kembali santai.
“Hei kau ini yang mengadakan pesta, mana rasa khawatirmu? Dia bukan membatalkan pertemuan, tetapi membatalkan perjanjian! Sudah kuhubungi sebulan yang lalu, baru mengabari hari ini. Orang macam apa ini?” omelku tak karuan. “Bagaimana? Aku tidak punya rekan dengan usaha seperti itu, kalau kau punya kau hubungi saja sendiri. Bisa-bisanya kau menyuruhku menghubungi Bella padahal dia teman kuliahmu.”
“Hey, man. Tenanglah. Baiklah aku akan mencari solusi secepatnya. Kau urusi saja hidangan restaurantmu untuk pesta nanti. Jangan kau ambil pusing soal masalah ini,” Peter tertawa melihatku marah-marah.