(Orang orang mengatakan kalau dunia ini cukup adil, bagi orang orang lainnya mengatakan kalau dunia ini sangat tidak adil. Secara pribadi, aku berpikir dunia ini cukup adil, Mungkin karena aku selalu merasa beruntung dan selalu terlindungi dan bermain aman....)
"Truth!"
"Harga diri atau Cinta sejati?"
"Harga diri." tanpa rasa ragu Yuna menjawabnya dengan senyuman dan gelengan kepala heran.
"Uhhh, kenapa?" seorang pria, sahabat karib Yuna yang baru dia kenal sekitar 1 tahunan bertanya kepada gadis desa itu.
"Umm, bukankah merepotkan jika kita bersikap tidak tahu diri dan menjadi beban orang lain? mencemari nama sendiri, lalu dengan menempel dengannya akan membuatnya ikut tercemar juga? meskipun namanya cinta, tetap harus punya logika." dengan bangganya dia mengangguk, percaya akan ucapannya.
"Tapi, kalau cinta sejati akan melakukan apapun demi dirimu bukan?" Minju bertumpu pada kursi yang dia balik sehingga kepalanya bertumpu pada kepala kursi tersebut.
"Tepat sekali! cinta sejati bukan hanya tentang perjuangan sebelah pihak saja!" Yuna menggebrak meja dan masih dengan perasaan bangga dan wajah mengesalkannya mengatakan itu tanpa ragu, membuat keduanya setuju meski kata kata mereka mengucapkan sebaliknya.
Tiba tiba masuk seseorang yang membuat tatapan Yuna menjadi sinis dan tajam meliriknya dengun ujung mata, begitupula dengan orang yang ditatapnya. Mereka terlihat seperti rival dunia akhirat.
Kedua sahabatnya bertanya tanya kenapa mereka seperti itu, memang pada dasarnya Jihoon dan Yuna adalah 2 elemen yang tidak dapat disatukan, bak air dan Minyak yang menolak untuk menyatu dan membuat batasan yang jelas antara mereka.
"Kalian ribut lagi? sudahlah Yuna, kalian baru kenal selama 1 tahun tapi dendam kalian seperti sudah 10 tahun saja!" Minju mengatakannya karena lelah melihat persaingan itu.
"Huh? bercanda? kalau dia tidak memulainya, aku juga tidak akan memiliki dendam padanya!" Yuna menyilangkan tangannya mengingat dimana hari pertama mereka bertemu.
Sekitar 1 tahun yang lalu, ketika Yuna baru datang dari desa, dia mencoba peruntungannya untuk bersekolah di SMA kota untuk kehidupan yang lebih baik katanya.
~1 tahun yang lalu
Tangannya menggenggam erat lengan tas tersebut. wajahnya cukup putih, namun rambut yang diikat seadanya dan beberapa jerawat... bagaimanapun cerminan desanya cukup kuat.
“Ahh hari pertama sebelum sekolah besok.” hati yang bersemangat serta sebuah tas yang dibawanya menjadi saksi awal kehidupan Yuna diperkotaan.
Langkah kakinya terasa ringan diangkat dan menyenangkan dipijak, semuanya mengalir tanpa beban.
Yuna melangkah menuju sebuah halte dimana sebuah bus sudah menunggunya untuk masuk dan duduk. Dia sempat bergumam sebelum tempo langkah kakinya berubah menjadi lari kecil sebelum pintu bus menutup.
Belum habis dia antri dan hendak membayar menggunakan kartunya, seorang pria yang berlari menerobos mendahuluinya tanpa membayar.
“Hei, hei bayar terlebih dahulu!” teriak sang supir kepadanya, begitupun tatapan Yuna yang terkejut memegangi kartu didadanya dengan wajah shock karena sikap yang disajikan oleh orang orang dikota.
Pria itu berbalik menghadap kaca, seperti seseorang tengah mengejarnya, Yuna yang masih dalam keadaan beku dimanfaatkan oleh pria itu.
Kartunya diambil dan ditempelkan untuk membayar.
“Untuk 2 orang.” si pria tanpa dosa itu mengatakannya tanpa ragu, begitupun yang lainnya yang menyajikan wajah datar, kejadian ini seakan akan biasa terjadi.
“Hei, itu…” dia baru sadar setelah saldonya habis untuk orang yang tak ia kenal.
“Akan aku kembalikan nanti.” kata kata yang begitu menyebalkan keluar dari mulutnya, seakan akan mudah saja dia memberikannya. Ini pula lah penyebab pertengkaran mereka hingga kini…
Keesokan harinya~
“Ahh sial, aku terlambat!” suara ribut dari dalam apartemen dengan barang yang masih setia didalam kotak, belum ada satupun yang berbeda kecuali beberapa yang dibutuhkannya.
Yuna berlari menuruni tangga, bajunya, rambutnya hingga keadaan fisiknya sangatlah buruk saat ini, dia susah payah bertarung dengan waktu mengejar gerbang dihari pertama sekolahnya.
Dia bergegas, saking terburu burunya dia sempat menabrak seseorang.
“Maaf, permisi!” belum habis dia berdiri, sudah dia potong dengan berlari kembali mengejar pintu bus yang hendak mengakhiri penantiannya. Dia berhasil masuk!
Yuna mengeluarkan kartunya dari saku dan ditempelkan diselingi suara napas yang tersenggal senggal dan keringat dingin yang mengalir.
“Maaf nona kecil, saldomu tidak cukup” benar benar kata yang tidak pas, sangat tidak tepat!
"Apa?" Senyumannya mengkerut dan kembali lempeng menjadi wajah cemas.
"Saldomu tidak cukup" kembali sekali lagi sang supir mengingatkan.
“Apa? Tidak mungkin, tapi pak seharusnya….” Ya Yuna ingat, seharusnya dia masih mempunyai 1 tiket menuju sekolahnya, tapi tiket itu sudah dihabiskan oleh berandal yang tak ia kenal.
“Ahh sial, bagaimana ini.” gumamnya perlahan mengutuk diri sendiri.
“Pakk, tolong bantu saya ya, ini hari pertama saya sekolah, saya tidak ingin memberikan kesan pertama yang buruk.” bujuk Yuna agar bisa lolos kali ini saja.
“Kamu pikir, hanya kamu yang memiliki hari pertama?” cukup menjelaskan gemetaran tangannya ketika para penumpang mulai masuk.
“Ahh” Yuna tidak bisa berbuat apa apa lagi.
Tiba tiba, sebuah suara kartu yang muncul dari mesin dan tangan yang terulur dari belakang Yuna memotong perdebatan dan kecanggungan antara mereka berdua.
“Untuk 2 orang.” kata kata itu, suara itu, sangat familiar bagi telinga Yuna yang sedikit pahit berkat kemarin.