Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #1

Bab 1: Penebar Pesona



            Lantai bergetar. Botol beserta gelas di atas meja bergoyang beriringan. Dentum hingar-bingar selaras goyang kepalaku mengikuti irama musik reggae. Kilat sinar laser terpancar dari lampu warna-warni menari. 

Kutuangkan kembali minuman keras ke gelas kosong. Kulesap pahit minumanan beralkohol itu dalam sekali teguk. Alkohol yang larut dalam cairan membakar tenggorokan, menuju saluran cerna. Belakang kepalaku berdenyut menyakitkan. Kuacuhkan. Kucecap lagi dan lagi. 

Seorang wanita seksi mendekat. Ia merebut gelas dari tanganku, memaksaku melantai. Kasar kutepis tangannya. Sumpah serapah keluar dari bibir tipis merah darah. Kuacungkan jari tengah membalas umpatannya. 

            Aku sedang tidak ingin diganggu. Akhir pekan ini menyedihkan. 

Sebuah kontrak bisnis sebesar sepuluh milyar rupiah batal karena kecerobohanku. Kesalahan fatal yang telah kubuat memang layak mendapatkan hukuman. Namun mencercaku dengan kalimat penuh hinaan di depan seluruh staf kantor sangat merendahkan dan melukai harga diri. Aku tak bisa menerima perlakuan seperti itu. Kalau saja dia bukan Direktur Utama sekaligus kakakku, sudah kuhantam mulut kotornya. Lagipula separah apa pun tindakanku, Rendy tidak akan memecatku. Kecuali jika dia bersekutu dengan papa mencoretku dari daftar ahli waris.  

Malam semakin larut. Pengunjung kian membeludak. Berpuluh pasangan muda-mudi bergerombol memasuki ruangan diskotek laiknya gelombang tsunami merambah kolong-kolong kota. Pandanganku nanar. Minuman beralkohol memberi peringatan bahwa kestabilan neurotransmiter dalam otakku terganggu. Waktunya pulang. 

Ketika hendak beranjak, sebuah tepukan lembut di pundak mengurungkan niatku.

“Rangga, mau ke mana?” Suara lembut mendesah mampir di telingaku.   

“Pulang,” jawabku dingin. 

“Masih sore. Aku temani minum, ya?”

“Tidak. Aku sudah terlalu banyak minum.”

Dalam remang dahi wanita itu mengernyit. Bulu matanya tertarik ke atas. Kulitnya cerah tertimpa sinar yang bergonta-ganti warna. Hidung mancung dengan bibir tipis nan seksi.  Dia cantik sekali. Kucari biodata sosok wanita cantik itu di setiap kenangan petualangan asmara. Namanya tak kutemukan.

Kutarik lembut bahunya mendekat hingga kalimatku bisa sampai ke telinganya. 

“Sungguh suatu kebahagiaan bila kau mau menemaniku pulang. Menghangatkan tempat tidurku,” bisikku nakal.

Dia menggelinjang geli. “Pria genit,” katanya manja sambil mencubit lenganku. 

Aku pura-pura mengaduh. Dia menarik tanganku menjauh dari meja. Aku mengikuti langkahnya seperti anak kecil penurut. 

Wanita itu menuntunku menyibak lautan manusia. Kepulan pekat asap rokok menyesak ruangan. Gelembung asap membuat sebuah nama melintas di benakku. Yosita! 

Di halaman diskotek, kuserahkan tiket parkir ke petugas valley. Kusandarkan tubuhku ke bahu Yosita. Tubuh perempuan ini mengeluarkan bau harum taburan ribuan bunga. Membuat hasrat kalakianku membuncah. 

Tidak menunggu lama, mobilku beranjak pelan mendekat. Petugas parkir pembawa mobilku adalah pemuda tanggung. Dia menyerahkan kunci mobil dengan wajah pucat. Aku memujinya dalam hati. Tidak semua petugas parkir bisa mengemudikan mobil ini. Tetek-bengek transmisi otomatisnya tidak sesederhana mobil pada umumnya. 

Setengah sempoyongan kubuka pintu. Kuhempaskan tubuh ke jok empuk mobil. Aku bersiul kecil melagukan nada tak beraturan. Efek alkohol plus wanita cantik membuat hatiku bergelora. Kekuatan yang entah dari mana datangnya memberiku stamina tersendiri. 

Yosita membuka pintu samping. Tanpa kupersilahkan dia mengenyakkan tubuh. 

“Kau yakin masih bisa menyetir?” 

“Jangan khawatir. Aku bahkan masih mampu membawamu ke luar kota dengan mobil ini.” 

Tak kupedulikan ketakutan yang membekap maskaranya. Aku yakin mampu mengendarai mobil ini walau kepalaku berat dan perutku semakin bergejolak. Lagipula, tempat tinggalku tidak terlalu jauh. Malam semakin larut. Jalanan sepi. Kulirik wanita di sebelahku itu. Dia membalas dengan lirik nakal.

***


Kelopak mataku terbuka sempurna. Suara bel beriringan dengan gedoran pintu. Bertalu-talu menghajar gendang telinga. Belakang kepalaku berdenyut keras. Serasa ada puluhan orang menabuh genderang memukul bagian otak. 

Aku menggeliat malas. Penunjuk waktu di atas tempat tidur masih menunjukkan pukul delapan pagi. Kukutuk tamu yang mengusik hari liburku. Bila saja dia datang tanpa alasan yang berarti, aku bersumpah akan meninju mukanya. 

Selimut kutendang kasar. Sebelum menjejak lantai yang berbalut karpet tebal, sebuah tangan kecil halus menarikku masuk kembali ke dalam selimut. Aku tersentak. Otakku berusaha mengumpulkan kejadian-kejadian yang masih melekat. Dari mana? Dengan siapa aku pulang? Siapa wanita yang bersamaku ini?

Kusibak selimut yang menutupi wajah perempuan di sampingku itu. Dia menyembunyikan kepalanya dengan kedua tangan. Aku menarik paksa tangan yang menutupi wajahnya. Ia masih terlihat cantik walau habis bangun tidur. Rias kosmetiknya masih terlihat jelas walau menipis. Kelopak matanya kuyu kelelahan. 

Aku menatap lekat wajah itu. Terlalu banyak wanita yang mampir dalam petualangan asmaraku. Membuatku harus berpikir keras siapa yang tidur denganku semalam. Ah, iya. Sebuah nama melintas.

“Yosita, cepat bangun. Ada tamu di luar!” 

Mata cantik itu melotot seketika. Dia menghempaskan selimut dengan kasar. Tanpa berbicara sepatah pun Yosita meloncat dari tempat tidur, berjalan cepat ke kamar mandi. Dari kamar mandi terdengar teriak kegeraman bersaing dengan pintu yang terbanting keras. 

Suara gedoran dan bel menyalak beriringan. Tanpa pikir panjang aku segera mengenakan pakaian seadanya. 

“Sebentar!” teriakku marah.

“Cepat!” Pekik di luar membalas.

Suara yang telah kukenal selama bertahun-tahun di kehidupanku itu menggerus kemarahanku. Membuatku berlari cepat melewati ruangan tamu. 

Kubuka pintu tergesa. Wajah pria setengah baya di hadapanku itu merah padam menahan amarah. 

“Telingamu sudah rusakkah?!” Semprotnya. 

Orang tua itu mendorong tubuhku. Aku terhuyung ke belakang memberinya jalan. Tanpa peduli kehadiranku ia langsung menuju dapur. Pintu lemari es dibukanya kasar. Jus jeruk dingin menjadi pelampiasan kekesalannya. Dalam sekali tenggak, isi botol yang tadinya masih separuh itu langsung tandas ke perutnya. 

Wajahnya melemah setelah menghabiskan isi botol. Ujung hidung dan pipinya memerah. 

Lihat selengkapnya