Bola mata Herman tenggelam menatap laptop di depannya. Sesekali tangan kanannya beralih menekan panel kalkulator di samping keyboard laptop. Berulang-ulang dia melakukan itu sambil melirik ke tempatku. Dahinya mengernyit kala menguliti angka yang tertera di tampilan layar tidak sesuai dengan angka yang tertera di kalkulator.
Setelah lebih dari satu jam melakukan pekerjaannya tanpa bosan, laki-laki seumur papa itu membetulkan letak kaca mata minusnya yang melorot. Dia merebahkan tubuh ringkihnya ke sandaran kursi, menarik nafas panjang sambil merentangkan kedua tangan.
Angka-angka itu membuat kulit keriputnya semangkin terlihat kentara. Tiga puluh enam tahun orang tua itu telah bersama papa membesarkan PT. Maheswara. Waktu panjang membuat tulang-tulang tuanya semakin rapuh. Osteoporosis menggerogoti tulang belakang, pinggang, hingga kaki kirinya.
Duduk dari pagi hingga malam menekuni bilangan, analisa biaya, saham, investasi, dan segala tetek bengek istilah akuntansi telah membuat Herman terlihat tua melebihi usianya.
Rasa iba menggelayut. Betapa dia telah menghabiskan seluruh hidup dan kebahagiaan untuk perusahaan. Herman tidak punya istri. Dia telah menikah dengan bilangan-bilangan perusahaan kami. Aku yakin dia menemukan dunianya sendiri di antara angka-angka yang dipeluknya tiap hari.
Kepala yang ditumbuhi warna perak itu berpaling ke arahku. Bola mata kami bertemu. Dari sorot mata tua itu kala menatapku, kutangkap kebahagiaannya perlahan menguap.
“Rangga, sini sebentar.” Dia melambaikan tangan kanannya.
Jarak sepuluh meter dari tempatku duduk cukup membuat suara serak itu terdengar oleh seluruh staf. Aku menangkap hawa kecerobohan yang telah kubuat beberapa minggu yang lalu belum selesai. Sumpah serapah Rendy tidak cukup melebur dosaku. Kini Direktur Keuangan PT. Maheswara pun akan ikut-ikutan memaki. Rasa iba yang tadi menggelayut berubah arah.
Malas kulangkahkan kaki. Aku menarik kursi di depannya. Kutatap erat wajah kuyu di depanku. Dia melepas kaca matanya, mengambil sapu tangan, meniup kacanya kanan kiri.
Setiap detail gerakannya membuat waktu berjalan sangat lambat. Kutunggu kalimat yang akan tersembur dari bibir keriput itu.
“Perhatikan angka-angka ini,” katanya.
Dia memutar layar laptop ke arahku. Membiarkan aku menikmati bilangan-bilangan di layar itu sementara kaca mata yang sudah dibersihkannya kembali bertengger anggun di pangkal hidungnya yang betet.
Bilangan dengan font kecil berderet memenuhi setiap inci layar. Lajur-lajur kolom dipepatkan hingga tak menyisa jarak sedikit pun. Crusor berkedip pada kolom yang tertulis namaku dan hasil penjualan yang telah kubukukan hingga akhir bulan. Minus tiga puluh persen.
“Sudah tiga bulan ini targetmu tidak tercapai. Sedangkan tahun tutup buka tinggal dua bulan lagi. Total masih minus empat puluh lima persen dari target yang harus kau capai. Bagaimana kau akan menutup kekurangannya? Terlalu jauh dari target….”
Ludahku terasa pahit. Mulutku terkunci. Angka-angka itu berbicara langsung padaku. Mengingatkan kebodohan yang terus kuperbuat.
Herman menunggu alasan dan pembelaanku. Tetapi apa yang diharapkannya tak terwujud. Aku diam seribu Bahasa. Dia mendengus dongkol.
“Belum lagi, kau telah membuat penjualan yang harusnya dibukukan terlepas. Sepuluh milyar rupiah dalam krisis ekonomi yang tak menentu seperti ini sangat besar!”
Alih-alih menjawab keluhannya, kuarahkan pandanganku ke ruang Direktur Utama. Berharap semoga Rendy tidak ada di sana. Kalau dia mendengar keluhan Direktur Keuangan ini, aku yakin dia akan mendekat, kemudian ikut mengeluarkan sumpah serapah.
Tidak mendapat tanggapan apa pun dariku, dengan kesal Direktur Keuangan itu menarik laptop ke arahnya kembali. Baginya, menunjukkan angka-angka padaku seolah memberi uang koin pada kucing. Sia-sia.
Melihat pintu ruangan Rendy tetap tertutup, keberanianku sedikit timbul.
“Maafkan aku Om, ini tanggung jawabku. Aku akan berusaha lebih keras lagi.”
Herman menyemburkan nafas yang sedari tadi ditahan. Jawabanku baginya terdengar seperti ritme doa yang biasa dilafalkan tiap hari. Harapan yang membosankan.
“Beri kesempatan sekali lagi. Aku akan memenuhi target tahunanku. Percayalah padaku,” desakku.
Lelaki berambut perak itu menatapku lekat. Kaca mata yang bertengger di hidung betetnya melorot turun saat dia menunduk. Kesempatan yang kumohon tidak memuaskannya.
“Rangga, keinginanmu ini sama dengan yang kau ucapkan tahun lalu. Tahun sebelumnya juga. Selama yang kuingat, sejak kamu menerima tanggung jawab sebagai manajer pemasaran lima tahun lalu, hanya sekali saja kau bisa memenuhi target. Selebihnya....”
“Aku akan berusaha lebih keras lagi!” Kusela kalimat Herman yang belum selesai. Kegagalan yang diungkit terasa menyakitkan.
“Kau baca koran, lah. Perusahaan raksasa merugi puluhan milyar. Akuisisi perusahaan asing menggila. Hampir tiap hari kolom-kolom koran menulis ada perusahaan bangkrut. Aku berharap PT. Maheswara tidak ikut tertulis suatu hari nanti.”
Direktur Keuangan itu menghela nafas panjang. Kepalanya tengadah menatap lampu neon di atap. Mungkin dia berusaha mencari jawaban akan setiap kegagalanku. Dia kembali menatapku. Ada percik di bola matanya. Agaknya Herman telah menemukan jawaban di balik sorot lampu itu.
Dia mendesis pelan, “Kalau saja kau bukan salah satu pewaris Maheswara, pastilah kau akan....”
Sebelum dia memuntahkan hasil penerawangannya, aku cepat memotong, “Dipecat! Ya, Rendi seharusnya memecatku saja. Aku hanya beban bagi perusahaan ini!” kataku sengit.
Orang tua yang tahu betul masa kanak-kanakku itu sekarang ikut menyerang dan memojokkanku. Sudah berapa kali aku minta maaf. Kalau permohonan maaf tidak cukup, biar saja ia memecatku.
“Bukan maksudku membuatmu terpojok seperti ini. Hanya saja, perusahaan ini menghidupi dua ratus karyawan yang sebagian besar sudah punya keluarga. Aku, papamu, kakakmu ingin kamu berpikir keras dan berusaha lebih giat lagi untuk perusahaan.” Nadanya merendah melihatku gusar.
Aku menunduk tak ingin membantah lagi. Aku harus jujur, apa yang dikatakannya memang benar. Laki-laki tua ini sangat loyal pada keluargaku. Dia tidak layak mendapat perlakuanku tanpa respek.
“Maafkan aku.”
“Aku sudah tiga puluh tahun lebih mengabdi pada orang tuamu, pada perusahaan ini. Tidak lama lagi tongkat manajemen perusahaan akan berpindah secara menyeluruh ke Rendy, juga ke kamu. Dalam sisa waktuku yang tak banyak ini, di akhir pengabdian, aku berharap bisa melihat Maheswara menjadi perusahaan yang kuat. Aku ingin bisa pensiun dengan tenang.”
Nada getir penuh harap terucap pelan dari mulut Herman. Harapan terakhirnya menggugah keharuanku. Bertahun-tahun aku mengenal orang tua ini. Dia telah bekerja keras bagi kami. Kejujuran diimbangi keikhlasan orang kepercayaan papa ini membuatku terbebani.
Kuhela napas Panjang. Kusemburkan bersama kegalauan di dada. “Tolong beritahu apa yang harus kuperbuat untuk mengembalikan kepercayaanmu padaku.”
Herman tidak menjawab. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena kutundukkan kepalaku hampir menyentuh atas meja.
“Kamu benar-benar ingin membantu?”
“Aku akan berusaha sekuat tenaga!”
“Kalau begitu ikut aku,” katanya lirih.
Herman menunjuk sebuah ruangan. Dia beranjak dari kursinya. Laptop bututnya berada di tangan. Kuikuti langkahnya mantap.
Ruang tiga kali lima meter di sebelah ruang papa itu dipenuhi tulisan-tulisan penyemangat. Sebuah meja besar dengan delapan kursi menyambut. Herman meletakkan laptop-nya di atas meja, kemudian duduk di kursi di depanku. Jarak kami dipisahkan meja pertemuan kecil.
“Ayahmu adalah orang hebat.” Kalimat pembuka yang keluar dari bibirnya.
“Apa hubungannya?” kataku kesal.