Gemuruh sorak penonton membahana. Bangunan megah dengan tinggi puluhan meter seluas setengah lapangan bola itu membuat suara yang dihasilkan dari tepuk tangan menggema dahsyat seantero ruangan. Pilar-pilar yang menopang bangunan itu laiknya beton di istana jaman Romawi.
Tata lampu berpendar syahdu. Puluhan pria dan wanita dalam balutan long dress berdiri tegap. Deretan paling depan diisi para pemain musik. Deretan belakang dipenuhi vokalis. Para pemusik berdiri, menunduk memberi hormat, kemudian duduk rapi di posisi masing-masing.
Tidak menunggu lama, lelaki setengah baya berjalan tegap memasuki panggung. Jubah panjang yang dipakainya menjuntai hingga lantai. Dasi kupu-kupu terikat rapi di kerah putih. Sebelum menghadap para pemain, ia menundukkan tubuh beberapa detik ke arah penonton.
Tidak lama kemudian pembawa acara mengumumkan konser musik akan siap dimulai. Ruangan berubah senyap. Nafas-nafas tertahan. Hening. Detik-detik berjalan menjemukan.
Konduktor itu berdiri tegap. Matanya nyalang menatap para pemusik yang sudah bersiap. Bak seorang jendral yang sedang menginspeksi pasukan, kala ia mengangkat tangan kanannya, piano mulai berdenting pelan, bermain tunggal pada nada yang sudah ditentukan.
Kala tangan kanannya bergerak turun ke bawah, di saat itulah komando perang dikibarkan. Seolah serbuan ribuan prajurit dalam satu komando, gesekan biola, celo, dentum genderang, tiupan saxophone campur aduk dengan denting piano dalam nada-nada yang susah kumengerti.
Mataku menangkap keresahan Nadia. Gadis yang duduk di sebelahku itu beberapa kali menggeser pantatnya seolah kursi yang didudukinya bermuatan listrik. Belum juga satu lagu selesai dimainkan, dia bergerak ke kanan ke kiri membetulkan posisi duduknya.
Tidak seperti penonton lain yang fokus pada padangan ke depan, mata Nadia bergerak liar. Lehernya dipanjangkan ke depan, ke samping, ke belakang. Entah siapa yang dicarinya.
Setelah lima menit berlalu, kembali tempik sorak membahana. Nadia menggunakan kesempatan itu untuk berbisik di telingaku.
”Masih lamakah?”
“Baru juga satu lagu,” bisikku kesal.
Setelah tepuk tangan berhenti, suasana kembali seperti semula; hening. Tidak lama menunggu, konduktor kembali memulai lagu berikutnya.
Tangan kiriku menekan tangan kanan Nadia, memintanya diam saat kepalanya mendekat. Aku bisa memahami kejenuhan yang melanda wanita itu, karena aku juga mengalami perasaan yang sama. Namun kukuatkan hatiku agar bersabar.
Berturut-turut lagu dimainkan. Overture to Candide, Rhapsody in Blue, Ancient Airs and Dances Suite No.3, Symphonic Poem “Pines of Rome” yang tertulis di tiket undangan mengalun berurutan.
Setiap selesai satu musik, batinku berharap musik yang lain segera selesai. Pantatku mulai terasa panas. Mendengarkan konser musik seperti ini seperti mendengar nada-nada asing dari dunia lain.
Akhirnya tepuk tangan lama menolongku keluar dari lubang kebuntuan selama dua setengah jam yang membosankan. Berkali-kali Nadia memastikan bahwa semua telah berakhir. Aku tidak menjawab. Kuikuti tepuk tangan penonton sambil kupanjangkan leher mencari wanita yang sedang kuincar.
Ketika konser benar-benar berakhir, lautan manusia bergerak menuju puluhan pintu keluar. Aku menarik tangan Nadia. Dia sedikit protes ketika aku mengarah berlawanan dengan pintu keluar terdekat. Senggolan dengan penonton lain tak kugubris. Pelotot kejengkelan tidak menyurutkan langkahku. Aku terus bergerak mendekati buruanku sembari tangan Nadia tetap dalam genggamanku.