Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #5

Bab 5: Oscar Claude Monet


Aku harus mengakui kehebatan Deny dalam mengumpulkan informasi. Setelah mengguyurku dengan berita tentang kepergian Kayla ke konser dua minggu lalu, kini dia memberiku skedul Kayla berikutnya; Pameran lukisan Monet di Art Gallery

Entah bagaimana dia mendapat informasi itu. Atas kuasaku sebagai manajer dan anak pemilik perusahaan, kuizinkan dia memakai dana entertaint tamu sesukanya. Aku yakin Om Herman tutup mata saat tagihan menggunung keluar bulan depan. Ini adalah project-nya. 

Masih ada satu minggu sebelum kunjungan Kayla ke pameran lukisan. Hari-hariku dipenuhi selancar internet mengumpulkan data tentang Monet dan lukisannya. Memahami lukisan gaya impresionisme membutuhkan daya nalar tinggi. Segala hal berbau Monet dan lukisannya kucetak, kupandangi terus sebelum tidur. 

Foto Claude Monet yang diambil tahun 1899 oleh Nadar terpampang di dinding kamarku dalam ukuran tiga puluh R. Malam-malam menakutkan menghampiriku kala memandangi wajah bule umur lima puluh sembilan tahun dengan jenggot tebal menjuntai hingga dada itu. 

Oscar Claude Monet, lahir 14 Nopember 1840, meninggal 5 Desember 1926 dalam usia 86 tahun. Pria berkebangsaan Prancis ini menelurkan puluhan lukisan bergaya impresionisme yang lukisannya tersimpan di tempat-tempat bersejarah di seantero dunia. 

Yang membuat mataku terbelalak adalah menemukan berita bahwa lukisannya yang berjudul “Japanese Footbridge Over the Water-Lily Pond at Giverny”, pada tahun 2013 terjual tiga puluh juta dolar!

Aku sama sekali tidak mengerti bagian mana di lukisan itu yang membuat seorang miliuner rela merogoh kocek sebesar itu. Bagiku yang awam akan dunia lukis-melukis, karya Monet itu terlihat seperti “Seorang wanita berpayung di saat langit cerah bersama anak kecil dikelilingi bunga lily”. Entah di bagian mana mahalnya. Uang sebanyak itu lebih dari cukup bagiku untuk pesta pora seumur hidup. Tiap hari. 

Hari Minggu yang kutunggu akhirnya datang jua. Aku masih belum hafal semua tentang Monet dan lukisannya. Bila ada pertanyaan dari Kayla, aku akan bergantung pada pengalaman dan improvisasi. 

Waktu pameran hanya dua jam. Sama dengan strategi sebelumnya, pertemuan dengan Kayla harus terlihat natural. Bernuansa kebetulan. Kecurigaan tanpa alasan pembenar akan menghentikan semua jalan yang telah kurintis.   

Setengah jam sebelum pukul 18.00, aku sudah berdiri di lokasi pembukaan. Kupilih tempat tersembunyi di antara fasad. Mataku jelalatan mengawasi pengunjung yang mulai berdatangan. Selain pameran lukisan Monet, pada hari libur seperti ini, pengunjung museum menyerbu pameran lain yang bersamaan waktunya. Akan ada ratusan manusia di gedung ini. Sebuah waktu yang tepat dijadikan tempat sebuah “Kebetulan Perjumpaan”. 

Lukisan reproduksi Monet akan dipamerkan di ruang khusus lukisan lantai satu. Prediksiku, pengunjung tidak banyak yang ingin menikmati lukisan warga negara asing itu. Kecuali dia memang mengerti betul tentang lukisan. Aku yakin penikmat seni akan didominasi orang-orang berumur, pekerja seni, atau wanita muda semacam Kayla; Gadis lajang yang dibebat kesepian akut. 

Dari jarak pandangku, sosok wanita berkelas itu terlihat memasuki ruang pameran. Kayla mengenakan pakaian kasual. Kususul sosok itu dari jarak puluhan meter. Tetap merunduk, bersembunyi di antara kelebat pengunjung, namun mata tak lepas dari buruan.

Jujur saja, bagiku ini adalah pengalaman baru melihat pameran lukisan. Sama seperti saat menonton konser musik klasik. Menjemukan. 

Madame Monet in a Japanese kimono-1875, View at Rouelles-1858, Woman in a Garden-1867, La Grenouillere-1869, dan puluhan lukisan reproduksi Monet yang berhubungan dengan keindahan alam terpajang rapi. 

Sambil menunggu buruanku puas dengan kelana yang membawa jiwanya merasuki coretan Monet, kucoba turut menikmati lukisan-lukisan itu. Imajinasiku yang liar kukendalikan agar bisa hanyut dalam buaian sapuan kanvas. Mataku lekat menatap lukisan di depanku. Setelah beberapa menit mencoba mengerti arti yang tersirat, tubuh dan jiwaku larut dalam suasana yang tergambar. Hadir dalam arti sebenarnya pada setiap detail pemandangan yang terlukis. 

Jiwaku yang sempat berkelana kembali menderap memasuki tubuh kala kudapati lukisan yang membuatku geleng-geleng kepala: Repro lukisan Monet seharga US$30 juta “Japanese Footbridge Over the Water-Lily Pond at Giverny”

Mataku kembali nyalang menelisik kehadiran Kayla. Aku mendapatkan wanita itu benar-benar lelap menikmati lukisan. Kurang setengah jam lagi tempat pameran akan ditutup. Aku harus menuntaskan apa yang telah kurencanakan. 

Perlahan aku mendekati tempat wanita itu sambil pandanganku tetap menikmati lukisan yang terpampang. Jarak yang memisahkan kami tinggal tiga meter plus selisih tiga pengunjung wanita. Aku semakin mendekat. Tidak ada lagi pemisah di antara kami.

Di sebelah lukisan yang ditatapnya, mataku ikut melahap lukisan “The Garden at Giverny” sambil sesekali mencuri pandang. Saatnya beraksi. 

Sambil tetap melihat lukisan di dinding, aku menubruknya dari samping. Sengaja sedikit kuinjak ujung sepatunya. Kayla kaget. Refleks dia menunduk mengelus ujung jari terbalut sepatu. Aku pura-pura kaget ikut merunduk.

“Maafkan saya, maafkan saya,” kataku berkali-kali sambil tetap menunduk. 

“Tidak apa-apa, lain kali tolong hati-hati,” katanya. 

Kami sama-sama mengangkat wajah. Mata kami berserobok. Kayla terbelalak tak percaya.

“Kkau?!” pekiknya tertahan.

Aku pun memperlihatkan sikap yang sama. Teknik berbohong dan memperdaya wanita yang sudah kulatih bertahun-tahun sejak masa puber kucurahkan sepenuhnya. “Nona Kayla? Maafkan saya, maafkan saya … Kaki Anda tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa, tapi ... Kenapa Anda juga di sini?” 

“Saya juga sama tidak percayanya dengan Anda. Kenapa kita bisa bertemu lagi di tempat yang seolah tidak mungkin bisa bertemu?”

Lihat selengkapnya