Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #6

Bab 6: Pangsit Mie


 Siang hari itu sangat padat. Ribuan manusia memadati taman. Tumpukan daun kering membentuk gugusan gunung kecil di sudut. Aktivitas beragam manusia tumpah di seantero kawasan. Kumpulan muda-mudi duduk di bangku kayu sambil asyik bercakap asyik. Di bagian lain sekelompok keluarga bercengkerama menikmati pohon-pohon yang sedang menggugurkan daunnya. 

Aku berdiri sambil memasukkan tangan kanan ke saku celana. Mataku melirik jam yang melingkar di tangan kiri. Masih sepuluh menit lagi, sedang aku sudah berdiri mematung hampir dua puluh menit yang lalu. Sengaja aku menunggu tiga puluh menit lebih awal dari waktu yang disepakati. Aku tidak tahu wanita ini termasuk dalam tipe apa saat berhadapan dengan waktu.

Setelah pertemuan di museum itu, untuk ke sekian kalinya aku menelepon Kayla, berharap dia bisa meluangkan waktu bertemu setelah beberapa kali pertemuan yang “tak disengaja”. 

Mulanya dia keberatan dengan berbagai alasan. Aku sedikit memaksa. Setelah melalui permainan kalimat, cerita belum selesai tentang karakter macam-macam pelukis terkenal dan pemusik klasik, permohonanku akhirnya dikabulkan. 

Lima menit sebelum waktu pertemuan yang dijanjikan, Kayla masih belum juga kelihatan. Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Kegelisahanku berakhir kala telepon genggam di saku baju bergetar. Nama Adnan Kayla muncul di layar. 

“Halo” Suara di seberang berteriak di tengah keramaian. 

“Saya di depan pos keamanan. Anda di mana?” Suaraku tak mau kalah. Jam istirahat membuat kumpulan manusia menyemut. 

“Ah, saya melihat Anda. Tiga puluh meter di samping kanan. Haaaii!” teriaknya. 

Kayla melambaikan tangan. Aku membalas lambaian itu. Sosok tubuh tinggi semampai dalam balutan setelan blazer hitam berjalan mendekat. Langkahnya panjang dan cepat walau dengan sepatu tumit tinggi. Tangan kanannya menenteng tas kerja.

“Maaf membuatmu menunggu,” sapa Kayla.

“Tidak. Saya juga baru saja sampai,” jawabku berbohong. “Terima kasih sudah meluangkan waktu menemui saya di sini.” 

“Ke mana kita?” tanya Kayla tanpa basa basi. 

Wanita ini tidak termasuk perempuan cantik dalam deretan gadis yang pernah kukencani. Yosita, Reni, Lisa, Nadia, berpuluh kali lebih cantik dari dia. Hanya saja aura yang keluar dari tatapan dan cara bicaranya sanggup membuat kepercayaan diriku luntur. Tata riasnya sangat sederhana. Tanpa blouse on, tanpa bulu mata, tanpa alis bergambar, tanpa gincu merah darah. Semua sangat sederhana. Justru kesederhanaan itulah yang membedakan Kayla dari wanita lainnya. 

Angin yang berembus membuat rambut sebahunya terbawa arah angin, memperlihatkan kulit wajah dan leher yang putih. Balutan blazer dan rok hitam membuat kulitnya mencolok terang. 

“Kenapa kau memandangiku seperti itu?” tanya Kayla tiba-tiba mendapati mataku tak beranjak dari wajahnya.

 Kali ini aku terlihat amatir bila berhadapan dengannya. Dia bukan kelompok wanita kebanyakan yang akan tersanjung saat mataku menguliti tubuh dan wajah mereka. 

“Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Hanya saja, Anda terlihat cantik dalam tampilan seperti ini.” 

Aku berkata jujur. Tidak ada kesan merayu dalam kalimatku. 

Kayla menatap tepat ke bola mataku. Dia sedang menggunakan kekuasaannya untuk menguliti pria yang lebih rendah jabatan dan posisi bisnisnya. Menemukan kejujuran tanpa kesan kurang ajar dalam gestur tubuhku, Kayla melengos membuang muka. Kulit wajahnya berubah semu merah.

“Terima kasih. Kau tidak mengajakku kemari hanya untuk menikmati wajahku, kan?”

Kuberi dia senyum yang sanggup membuat gadis muda meninggalkan rumahnya. Kayla tersenyum ramah. Sedikit kekakuan dan bahasa formal mulai terkikis. Dia memintaku tidak lagi menggunakan kata “Saya” dan “Anda”. Tembok kekakuan sedikit berlubang.

“Ada kedai mie ayam enak di balik gedung itu, mau coba?” Tawarku sebagai ajakan makan siang.

Wanita kaya raya itu sedikit tersentak kaget. “Boleh. Sudah lama aku tidak menikmati masakan kedai.”

Kuberi Kayla isyarat untuk mengikuti langkahku. Tidak banyak waktu yang akan kudapat bersama wanita yang super sibuk ini. Hanya tiga puluh menit waktu istirahat saja. Setiap menit bersama harus terlewatkan penuh arti. Aku yakin wanita ini sudah kenyang dengan restoran mewah. Kedai di sudut kota Jakarta merupakan tempat istimewa pemberi kesan mendalam. 

Beberapa blok kami lewati dalam rentang waktu yang cepat. Tidak lebih dari sepuluh menit, kedai yang kumaksud terlihat. Tempat makan itu tepat di ujung gang, di belakang gedung perkantoran. 

Pak Wandi, pemilik kedai yang sudah memulai usahanya sejak empat puluh tahun yang lalu, mengenali semua tamunya. Empat puluh tahun berlalu tanpa menambah jumlah menu dan kapasitas, dibantu oleh tiga pelayan tua sekaligus pegawai setianya, lelaki yang sudah memasuki umur pensiun itu menjalankan kedai mie ayam setiap hari.

Bau khas kepulan asap mie ayam yang sedang disedu menyengat hidungku. Gurih, mengundang selera. Empat meja dengan dua kursi diselingi tiga meja dengan empat kursi terlihat masih kosong. Kuambil posisi satu meja dengan dua kursi berhadapan. Aku menarik kursi, mempersilahkan Kayla sebelum menarik kursi untukku

Setiap detail perhatian yang kuberikan pada gadis ini berbalas kembang senyum dari bibirnya. “Terima kasih,” bisiknya tulus.

Lihat selengkapnya