“Kau sudah lama menunggu?”
Aku menggeleng. “Baru juga lima belas menit.”
“Maafkan aku yang membuatmu menunggu lagi.”
“Tidak apa-apa. Aku tahu kau sibuk sekali. Justru aku yang minta maaf mengganggu kesibukanmu untuk hal sepele.”
Kayla mengguncangkan kepala hingga bahunya ikut bergerak. “Kau membuatku semakin merasa tidak enak.”
Aku tertawa lepas menanggapi gerutunya. “Kita berangkat sekarang.”
“Ke mana?”
“Ikuti aku.”
Sudah tiga puluh menit kami berjalan. Melewati puluhan lampu lalu lintas, berkelok melintas beberapa jalan sempit, menuju jalan besar lagi. Kadang kami harus memperlambat jalan saat gerombolan pejalan kaki menghalangi kecepatan kaki. Pusat kota Jakarta di akhir pekan dalam cuaca cerah sangat padat mengerikan.
“Kenapa kita tidak naik taksi saja? Bus? Mobil pribadi?” semprotnya di sela langkah kakinya.
Perempuan manja dan tidak sabaran, batinku. “Kereta dan bus akan melewati jalan berputar. Terlalu jauh dan memakan waktu lama. Akhir pekan seperti ini mobil bukanlah transportasi yang tepat membelah pusat Jakarta.”
Kayla diam mengurut jalan. Alasanku sepertinya bisa dia terima. “Masih jauh?”
“Tidak. Tinggal satu blok lagi.”
Aku berbelok ke kiri mengambil jalan sempit. Mobil hanya bisa bergerak satu arah. Itu pun harus sabar bergantian. Jarum di pergelangan tangan kiriku masih menunjukkan pukul delapan empat puluh menit. Masih terlalu sore untuk memanaskan tubuh.
“Itu!” Telunjukku menunjuk papan nama sebuah pub bertuliskan “Surge”.
“Berjalan empat puluh lima menit hanya cuma ke sebuah pub?” Nada protesnya terdengar memekakkan.
“Bukan cuma sekedar pub,” kataku memberi penekanan pada kata “Cuma”.
“Apa istimewanya tempat ini? Kalau hanya pub, banyak tempat terdekat di wilayah ini?” Nada protes masih berlanjut.
Aku tidak menggubris. Melihat seratus kali lebih baik daripada mendengar. Merasakan langsung seribu kali nikmat daripada hanya melihat. Lagi pula, langkahku sudah mendekat pintu masuk yang dijaga dua laki-laki perawakan besar dengan wajah sangar dan tato melingkar di lengan.
Kayla menghentikan protesnya tentang pub sederhana. Entah karena memang aku tidak menggubrisnya, atau karena penampilan dua penjaga di pintu depan membuatnya takut. Tubuhnya beringsut mendekat, menempel erat pada tubuhku. Wanita penuh kuasa ini membutuhkan perlindungan.
“Lama tak jumpa,” sapa penjaga.
Kuanggukan kepala. “ Bagaimana kabar Anda?” balasku.
“Baik. Silakan masuk.” Dia membuka pintu untuk kami.
“Teman Anda?”
“Ya,” kataku singkat.
Kedua penjaga itu memberi hormat. Mempersilahkan Kayla masuk terlebih dahulu tanpa memeriksa tas kami.
Alunan suara lembut menyambut kedatangan kami. Denting piano diikuti bas, drum, gitar akustik, berpadu dengan suara wanita yang sedang menyanyikan lagu barat. Telingaku tidak familier dengan lagu itu. Warna pub temaram menyesuaikan lagu yang dibawakan.
Lampu redup menempel di sudut-sudut ruangan. Lalu-lalang pengunjung menampilkan siluet tipis yang bergerak ke sana kemari. Pelayan mengangkat botol dan gelas di atas nampan, berjalan cepat di sela-sela pengunjung. Sesekali botol dan gelas dalam genggaman mereka bertabrakan menimbulkan suara dentingan. Ledakan tawa yang dan teriak manja dibarengi panggilan kegenitan menyeruak meramaikan suasana.
Tangan kanan Kayla melingkar erat di lengan kiriku. Tangan kirinya menggenggam erat tas kerja seolah dia berada di tengah para pencoleng.
Pub “Surge” memang bukan pub mewah. Bukan pula kelas wanita kaya raya penuh kuasa seperti Kayla. Tapi, itulah yang kuinginkan. Sengaja aku memilih pub ini. Memberi kesan kuat, dan momen yang tidak biasa padanya. Seperti Mie ayam, pub ini akan terus membekas di kenangannya.
Sepuluh tahun aku mengenal pub ini. Pub ini bagiku adalah tempat bersembunyi dari segala kekalutan dan tekanan. Hampir semua pelayan, pemain band beserta penyanyinya kukenal. Beberapa pengunjung tetap juga tidak asing lagi. Di tempat ini, dalam alunan musik romantis dan tembang lama, aku seperti menemukan keluarga yang tidak pernah kupunya.
“Lama tak jumpa.”
“Rangga, ke mana saja selama ini”
“Aku kangen padamu, anak tampan”
“Baru muncul sekarang, Sexy Boy.”
Aku menyalami mereka satu persatu. Pelayan, pengunjung senior, pemain band, penyanyi, aku bisa menyebutkan semua nama-nama mereka.
“Mereka semua sepertinya mengenalmu,” kata Kayla.
“Ya. Mereka adalah teman-teman terbaikku.”
Pengunjung mulai berdatangan. Tujuh meja di lantai atas yang tidak dipisahkan oleh fasad dengan lantai bawah terlihat penuh. Beberapa meja masih kosong. Mataku nyalang meneliti tempat yang kupesan sebelumnya.
Meja paling depan terpisah lima meter dari panggung musik. Tertulis “Reserved by Maheswara Rangga”. Aku memberi kode pelayan dengan menunjuk meja yang kumaksud.
“Selamat malam, Bos!”
Kutepuk bahu pelayan muda itu. “Juna! Kenalkan, ini Nona Kayla. Aku ingin kau memberi minuman terbaik buatanmu untuk temanku yang cantik ini.”
Juna memberi salam ke Kayla.
“Juna ini selain pembuat minuman terbaik, dia juga punya kemampuan DJ yang yang mumpuni,” lanjutku. “Nanti kau harus memperlihatkan kemampuan Disc Jockey terbaikmu.”
Juna menghormat, cepat balik kanan ke tempat bar. Tidak menunggu lama, dia kembali dengan nampan besar berisi tiga botol minuman berbagai macam. Empat gelas minuman ukuran sedang, tempat es batu, dan alat pengocok. Dia harus ekstra hati-hati agar nampan yang dibawanya tidak berantakan saat melewati beberapa pengunjung.
Kayla berteriak tertahan kala melihat Juna kehilangan keseimbangan saat berpapasan dengan wanita mabuk yang oleng jalannya.
“Kenapa kita tidak ke meja bar saja?” tanya Kayla.
“Ini spesial untukmu. Aku ingin dia membuat minuman istimewa langsung di hadapan kita.”
Sebelum Kayla melanjutkan protesnya, Juna sudah berdiri dengan nampan besar di hadapan kami. Juna siap beraksi.
Aku mengeluarkan dompet. Kutarik lima lembar, kuselipkan ke kantong celana Juna. Wajahnya langsung berubah cerah. Pemuda itu segera beraksi. Satu gelas cocktail dengan mulut gelas lebar disanggah pegangan kecil memanjang menjadi alat awal unjuk kebolehan.