Senin pagi ini tidak seperti biasanya. Suasana ketegangan di kantor terasa sejak kakiku menapak lobi. Rapat pagi yang biasa berlangsung tak lebih dari lima menit serasa bertahun-tahun. Rendy meledak-ledak. Semua manajer kena semprot. Umpatan kasar membara membuat wajah para manajer merah padam.
Seorang staf wanita setengah baya menahan tangis. Kemarahan Rendy menjatuhkan harkat kewanitaannya di hadapan staf lain. Kesalahan sepele yang seharusnya bisa ditolerir, pagi ini seolah menjadi sebuah kesalahan besar yang bisa membangkrutkan perusahaan.
Papa sebagai Presiden Direktur mematung. Putra mahkotanya itu dibiarkan bertindak menabrak norma. Aku pun bersiap menebalkan telinga. Namun yang kutunggu tak datang juga. Rendy sama sekali tidak mengusikku. Aku yakin dia tahu angka penjualan di divisiku bulan kemarin tidak memenuhi target.
Kakakku itu memang tak punya rasa iba dan empati pada orang lain. Itulah kenapa sampai umur tiga puluh delapan tahun dia masih sendiri. Pada suatu kesempatan yang rileks, pernah kutanya apakah dia tidak ingin menikah. Cinta hanya untuk orang yang lemah, katanya. Sejak itu kutahu Rendy telah menikah dengan pekerjaannya.
Setelah melampiaskan semua kemarahan, Rendy mendekam di ruangannya bersama papa dan Om Herman hingga melewatkan jam makan siang.
Tepat pukul tiga sore, ketika aku sedang tenggelam menekuni produk terbaru yang dibawa Deny, Herman keluar dari ruangan. Wajahnya kusut kelelahan. Ia melambaikan tangan memanggilku. Malas aku beranjak, melangkah tanpa semangat mengikuti perintahnya.
Di dalam ruangan itu hanya ada Papa dan Herman. Rendy entah ke mana. Herman duduk tepekur menatapku dengan tatapan kosong. Kepalanya terkulai bertelekan telapak tangan yang menyanggah dagu. Di bawah mata yang terlindung kaca mata minus itu terlihat gundukan kecil.
Penguasa PT. Maheswara juga menunjukkan keadaan yang tak jauh beda. Wajah itu semakin tirus dan tua. Kelopak matanya semakin cekung. Kepala yang selama ini berisi puluhan strategi jitu itu memutih salju.
Papa mencoba menutup kegalauan dengan senyum khasnya. “Duduklah. Bagaimana kabarmu?” tanya papa ramah.
Entah sudah berapa tahun orang tua ini tidak pernah menanyakan kabarku. Aku mengambil kursi tepat di depannya. Kutatap mata tua itu, kucari kejujuran di sana.
“Baik, sehat,” jawabku singkat.
“Masih sibuk dengan pesta?” tanyanya dengan senyum tersungging.
Aku menggeleng. Tak kutemukan sindiran atau cibiran dalam pertanyaan itu. Desah napas berat membuat pandanganku beralih ke orang tua yang duduk di sebelah papa.
“Untuk itulah kami memanggilmu kemari, Rangga.”
“Maksud Om Herman?”
“Apa yang akan kami bicarakan ini sangat penting. Menyangkut keberlangsungan kehidupanmu, kehidupan kami, dan kehidupan ratusan pegawai dan keluarganya. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak....”
Tidak ada cerita lain selain tugas yang saat ini kuemban. Untuk itulah papa mengajakku bicara saat ini. Sebelum Om Herman melanjutkan kupotong kalimatnya.
“Jadi selama ini papa yang mengatur? Rendy juga?”
Om Herman terkesiap. Tidak ada jalan untuk mengelak. “Ya. Aku, papamu, dan Rendy.”
“Kau tidak bisa dipercaya orang tua!” bentakku.
Papa mengangkat tangan kanannya. “Sudahlah, Rangga. Herman tidak bersalah, Akulah yang menyuruhnya,” timpal papa.
Aku melengos jengkel.
“Seperti yang kau ketahui, PT. Maheswara sangat bergantung pada Adnan Grup. Nasib perusahaan ini sangat bergantung pada belas kasihan mereka. Itulah kesalahanku. Bertahun-tahun aku berusaha keluar dari permasalahan ini. Aku sudah mendekati dan berusaha melakukan deal bisnis dengan perusahaan lain. Tapi, sampai sekarang kita masih tetap terbelenggu. Memang ada penambahan buyer, tetapi tetap saja kita tak mampu melepaskan diri dari kungkungan Adnan. Sekali Adnan beralih ke rival kita, habislah nasib perusahaan ini. Untuk itu….”
Aku mengangkat tangan memotongnya. “Aku bukan karyawan baru. Tidak perlu kuliah panjang lebar tentang kelemahan perusahaan ini. Langsung saja, apa hubungannya masalah ini denganku?”
Wajah papa memerah. Dia berusaha mengendapkan kemarahan yang mulai merayap akibat sanggahanku. Dia tersenyum menahan diri. Harus kuakui, orang tua ini lihai bermain dengan suasana hatinya.
“Seperti yang disampaikan Herman. Tidak ada jalan lain kecuali memborong saham perusahaan Adnan.”
Sebelum aku memotongnya lagi, papa cepat meneruskan kalimatnya, “Kami sudah melakukan kontak dengan pihak pendanaan melalui broker keuangan di Amerika. Mereka siap mengucurkan dana. Bahkan, kami sudah menandatangani kontrak perjanjian dengan Weiseman Brother”
Telingaku berharap salah dengar. “Weiseman Brother?” tanyaku menegaskan.
“Ya. Perusahaan terbesar finance Internasional yang berbasis di New York,” jawab Papa.
Sejujurnya, aku mengagumi karya orang tua ini. Bisa mengakses perusahaan sebesar itu merupakan capaian yang sangat besar. Meraup dana fantastis dari perusahaan sekelas Weiseman Brother bukan hal yang mudah, apalagi untuk perusahan sekelas Maheswara.
Weiseman Brothers Holding Inc. Adalah perusahaan yang didirikan oleh dua bersaudara Weiseman pada tahun 1870 an. Pada awalnya, dua bersaudara Weiseman mendirikan perusahaan bank kecil di sudut wilayah kota New York, Amerika. Setelah mendekati usia satu setengah abad, Weiseman Brothers Holding Inc. menjelma menjadi sebuah bank investasi ternama yang masuk dalam lima besar bank investasi di dunia. Bukan hanya bank Investasi saja, Weiseman Brothers juga bergerak dalam bidang penjualan dan perdagangan saham, obligasi, penelitian pasar, manajemen investasi, saham swasta, dan perbankan swasta.
Papa menarik napas panjang, kemudian menyemburkan bersama keresahan kalimatnya. “Tapi ... ada syarat yang sangat sulit.”
Kali ini aku tidak memotong penjelasannya. Sebaliknya, telinga kubuka lebar.
“Akhir minggu depan dana itu akan digelontorkan oleh Weiseman. Syaratnya, kita harus bisa menunjukkan data akurat saham-saham yang dimiliki Adnan yang bisa kita beli. Paling lambat minggu depan hari Senin kita sudah harus menyetorkan data itu,” kata papa melemah.
Laiknya disengat listrik ribuan volt, aku terperanjat. “Mustahil!” pekikku. “Apa sanksinya bila kita tidak berhasil?”