Selepas pertemuan yang melelahkan itu aku beberapa kali menghubungi gawai Kayla. Namun, panggilanku hanya diterima mesin penjawab. Kuminta Deny mencari informasi.
Saat ponselku berdering dan kudapati nama Deny di layar, aku berteriak layaknya pemenang lotre mendapat nomor yang dibelinya meledak. Tetapi, jawaban yang kuterima darinya membuatku panik: Tidak ada yang tahu keberadaan Kayla.
Hari-hari berikutnya berlalu resah. Aku tidak kuat berlama-lama di kantor. Rendy semakin meledak membabi buta. Sumpah serapah segala jenis nama hewan dari mulutnya seolah membuat kantor berubah menjadi Kebun Binatang.
Dari meja kerjanya, Papa sesekali mencuri pandang ke arahku. Kala kuberi dia gelengan kepala, wajah tuanya semakin terlihat merana. Orang tua itu kemudian menghela nafas panjang, berjalan gontai ke ruang pribadinya.
Herman tenggelam dalam layar laptopnya. Mesin kalkulatornya berdetak cepat saat jemari keriputnya menari lincah berusaha mengalihkan persoalan dengan menekuni angka-angka yang sudah dihitungnya. Kemudian dihitungnya kembali.
Sejak hari Senin hingga Rabu malam, malam-malam serasa mencekik. Pikiranku goyah menghitung hari yang tersisa sementara jarum di arloji berbicara langsung padaku.
Hingga suatu malam, entah malam ke berapa, suara berisik memotong mimpi burukku. Suara itu awalnya pelan. Semakin lama mengeras seiring kesadaran menarik jiwaku kembali menyatu dengan tubuh. Aku tersentak dengan tubuh basah kuyup. Tenggorokanku kering, mulutku pahit. Tubuhku bersimbah peluh.
Sigap aku mencari asal suara itu. Telepon genggam yang tergeletak di atas nakas berdecit bising menunggu gapai tanganku.
Gerutu sumpah serapah meluncur. Namun berganti sorak sorai kala mendapati nama Kayla muncul di layar.
“Halo, Kayla! Halo!” teriakku panik.
Suara telepon di seberang terdengar tidak jelas. Jauh. Berkali-kali kupanggil nama yang beberapa hari ini sangat kurindukan.
“Rangga! Rangga! Terdengar jelaskah?” kata suara di seberang.
Nada kalimatku bercampur antara rasa putus asa dan kegembiraan yang meletup-letup.
“Oh, Kayla ... Ke mana saja kau selama ini?” Aku merengek layaknya anak kecil yang merajuk.
“Maaf, membangunkanmu. Aku sedang di New York.”
Mataku melirik jam di dinding. “Kenapa ke New York? Ada apa?”