Kumpulan gedung apartemen mewah bertingkat di kawasan mewah itu terlihat angkuh. Bangunan-bangunan itu menjulang saling berebut memuncak langit sembari memancarkan sinar lampu mencorong. Para penghuni apartemen mewah itu bukanlah orang sembarangan. Pemilik perusahaan, pekerja eksekutif, pendulang kekayaan penghuni daftar majalah, semuanya tumpah ruah tinggal di sini.
Lobi apartemen Kayla sekelas lobi hotel bintang lima. Ruang seluas lapangan basket yang dipenuhi kursi dan sofa elegan itu menawarkan kemewahan sangat berkelas. Lampu besar dan indah bergaya Eropa tergantung di atap berbentuk kubah, memancarkan sinar terang benderang. Sinar itu dipantulkan kembali ke kaca-kaca besar yang berdiri kokoh sebagai pengganti tembok beton.
Saat memasuki lobi apartemen ini, tiga pegawai berdiri di belakang meja resepsionis berdiri menyambutku. Kusebutkan nama Adnan Kayla, nomor kamar, dan meminta mereka memberitahu tentang kehadiranku. Setelah mendapat persetujuan, di depan pintu geser elevator, dua petugas sekuriti tersenyum seraya menguliti penampilanku.
Aku memindahkan tas kerja ke ketiak kanan. Kutekan angka penunjuk lantai sementara tangan kiriku memegang bungkusan kecil; hadiah spesial buat Kayla.
Jemariku bergetar saat menekan bel. Jantungku berdegup kencang. Jiwaku seolah tersedot kembali ke masa SMA saat pertama kali kujemput pacar pertamaku untuk kuajak pesta.
“Amatiran!” Kuumpat kebebalanku.
Senyum rekah Kayla menyambut. Wajahnya terlihat segar walau masih tersisa kekuyuan di kedua sudut matanya akibat empat belas jam diguncang mesin pesawat.
“Masuklah.”
Kayla membuka pintu lebar-lebar. Kusorongkan bungkusan di tanganku.
“Wow, champagne. Ada perayaan apa?” tanyanya menggoda.
Kuberi wanita di depanku itu senyum terbaik yang kupunya. “Merayakan pertemuan dengan wanita cantik,” jawabku mencoba melucu.
Kayla menggigit bibir bawahnya. Menatapku sendu. “Memang aku cantik?” godanya.
Mulutku ternganga. Aku tahu gadis yang sedang mengenakan celana jins ketat dipadu T-shirt putih kedodoran dengan celemek melingkar di pinggul ini sedang bercanda. Namun, kelakarnya menikam dasar jantungku. Harus kuakui, dipoles senyum indah dan penampilan yang santai, wanita ini telah menjelma menjadi bidadari di mataku.
Kugaruk belakang telingaku. “Ah, eh, ehm … cantik. Cantik sekali,” jawabku terbata. Entah setan mana yang telah mencuri mulut manisku.
“Ha ha ha. Kenapa wajahmu memerah seperti itu?”
Sialan! Kenapa pula aku semakin mati kutu! Untunglah dia kembali ke pembicaraan semula.
“Tunggu sebentar, makaroni pasta sebentar lagi matang.”
“Kau serius bisa masak? Kupikir kau beli di luar.”
Kayla merajuk. Bibir tipisnya mengerucut. “Kau kira aku hanya pintar dengan angka-angka saja? Kan ada internet!”
Ganti aku yang terbahak. “Kau memang wanita serba bisa. “Perlu kubantu?”
“Tidak. Kau lihat-lihat saja ruanganku.”
“Oke.”
“Asal jangan ke lantai dua. Kamar tidurku masih berantakan.”
Sebelum aku menyanggupi perintah itu, suara dan tubuhnya hilang di balik tembok dapur.
Langkahku perlahan menyusuri sudut demi sudut ruangan. Satu per satu kemewahan yang terpampang membuat mataku terbelalak. Ruang ini bukan hanya mewah, tapi sangat mewah dan sangat artistik. Kamar apartemen yang kutempati berubah menjadi gubuk di pinggir jalan kumuh dibanding ruangan ini.
Mulutku menganga melihat segala yang tertata. Sofa warna krem terbuat dari kulit sapi asli terpisah oleh meja pendek dari metal mengkilap. Di belakang sofa, bermacam alat musik tertata rapi; piano, saxophone, gitar, bas, flute, hingga drum elektrik. Televisi yang bertengger di atas kabinet sebesar layar mini bioskop.