Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #11

Bab 11: Kumbang dan Bunga

Mataku menangkap, memfoto, merekam, menyimpan data ketukan jemari itu di bagian otakku yang masih kosong. Kemudian mengulang berkali-kali dalam hati. Nama kecil Kayla dan deretan angka acak. 

Permasalahan timbul. Aku harus cepat menuliskan data penting yang telah kudapatkan sebelum alkohol merusak daya ingatku. Otakku bukan otak agen 007 yang sekali lihat langsung hafal seumur hidup. Aku harus cepat memindahkan password yang masih melekat di benakku. 

Kuurungkan niat mengambil botol air dingin. Yang kubutuhkan adalah alat tulis dan kertas. Aku bisa mendapatkannya di tas kerjaku, atau meminta langsung pada Kayla. Tentu saja kebodohan seperti itu tidak kulakukan. 

Otakku berpikir keras berpacu dengan angka acak yang mulai menipis dari ingatan. Kelebat ide menyembul.

Setengah berlari aku kembali ke ruang tamu. “Maaf, boleh aku pinjam toilet?”

“Sebelah dapur. Di sana.” Tunjuk Kayla.

Sambil tetap mengulang password yang kudapat dalam hati, aku beranjak cepat seusai petunjuk Kayla. 

Mataku nyalang mencari barang yang kubutuhkan. Aku mendapatkannya di dalam kotak peralatan mandi. Pasta gigi!

“Kau tidak apa-apa?” teriak Kayla sayup.

 Kubuka kran, kucurahkan air sebanyaknya. Kujawab cepat pertanyaannya, “Aku baik-baik saja. Sebentar!”

 Tidak ada waktu lagi. Aku mengambil pasta gigi itu. Kucari tempat yang paling tersembunyi di bawah tumpukan lipat handuk yang rapi. Tanganku cepat menuliskan data yang masih terus kuulang-ulang dengan pasta gigi itu. Di sudut lantai yang tersembunyi, pasta gigi warna putih terlihat mencolok dengan warna keramiknya. 

  “Maaf agak lama,” kataku setelah keluar dari kamar mandi. 

  “Laptopku sudah siap sedari tadi, dan aku pun sudah mengunduh permainannya.”

  Aku kembali duduk ke tempatku semula, membuka laptop, mengarahkan crusor pada permainan, kemudian mulai menjalankan program game

Kemampuan bermainku tentu saja jauh melebihi kemampuan Kayla. Berkali-kali aku mengalahkannya. Kayla berteriak memaki, mengepalkan tinju, mengentakkan kakinya berkali-kali ketika kalah.  

  “Sudah. Aku menyerah!” teriak Kayla garang.

  “Horee! kau mengaku kalah?” candaku.

  “Ya!” katanya ketus.

  Dudukku beringsut menurun. Melihat dudukku sudah tidak nyaman lagi, Kayla menutup layar laptopnya tanpa mematikan terlebih dahulu. Dia menjatuhkan tubuhnya di sisiku, duduk berdekatan tanpa jarak. Kulit kami bergesekan. Aroma parfum lembut tubuh wanita ini bergelut mesra dengan aroma alkohol. Kami berdiam diri sibuk dengan kelindan imajinasi masing-masing. 

   “Ha!” Kayla menghembuskan nafasnya. Dia tertawa berderai. “Senang sekali aku malam ini. Terima kasih,” lanjutnya.

  “Sama-sama. Aku juga senang sekali malam ini. Setelah kepenatan dan tekanan kerja seminggu ini,” jawabku berbohong. Sejak kapan aku penat karena bekerja.

   Kayla mengubah sikap duduknya. Wajahnya sedikit menegang. 

“Ada apa?” tanyaku penasaran. “Ada yang salah dengan ucapanku?”

   Kayla menggeleng. “Pekerjaan yang melelahkan,” katanya lirih.

   Kukutuk diriku karena membuatnya teringat beban yang dipikulnya. 

   “Kau tahu alasanku ke Amerika?” lanjut Kayla. 

   Aku menggeleng. Kayla menghela nafas panjang, ragu meneruskan ceritanya. 

“Kau tidak perlu bercerita jika itu sangat rahasia.”

Kayla meraih kaleng bir di atas meja, mengguncangkannya berkali-kali. Kosong. Aku membantu mencari kaleng bir yang masih terisi, menyodorkannya. Wanita yang sudah setengah mabuk itu mereguknya. 

   “Kepergianku mendadak ke Amerika karena ada informasi dari klien kami. Ada gerakan keuangan besar dari Weiseman Brother ke luar Negeri.”

Lihat selengkapnya