Langkahku gontai memasuki kantor. Papan nama yang tertera di lobi penerima tamu berkedip sendu. Enggan menyambutku. Sabtu menjelang senja tidak ada karyawan yang tinggal. Pekerjaan lembur sudah diselesaikan tengah hari. Akhir pekan di akhir bulan, waktu yang tepat bagi para karyawan menghabiskan sisa waktu setelah rekening mereka penuh. Di sinilah aku. Akhir pekan bukan dengan menghabiskan malam menemani sang kekasih, tapi melangkah syahdu menemui para perakus harta yang menanti.
Langkahku sempat terhenti kala berpapasan dengan Om Herman di ruang kerja. Dia melambaikan tangan. Senyum merekah menghias wajahnya. Aku meminta bertemu sore ini tanpa memberitahu maksud kedatanganku. Seperti cenayang, Herman berteriak senang atas permintaanku. Penciuman bisnisnya sanggup menebak maksud pertemuan sebelum kukemukakan.
“Sebentar, aku ke kamar kecil dulu. Mereka sudah menunggumu dari tadi,” katanya tanpa berunjuk salam.
“Mereka?” tanyaku gamang.
“Rendy juga menunggu.”
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, lelaki tua itu sudah menghilang di balik tembok kamar kecil.
Setengah hati kaki menyeret lunglai tubuhku. Jujur saja, aku tidak ingin bertemu dia. Penampilan kaku tidak enak dipandang mata. Selalu ada kemarahan yang tersembunyi di sorot matanya. Rahang lebar dan hidung betet panjang warisan kakek membuat wajahnya menakutkan. Kini, pria haus kuasa itu ikut menanti kehadiranku.
Perutku mendadak mual.
Gagang pintu ruang Presiden Direktur Maheswara terasa dingin dalam genggamanku. Setelah dua kali ketukan dan terdengar perintah untuk masuk, aku mendorong gagang pintu itu.
Rendy dan papa duduk berhadapan. Keduanya memalingkan kepala ke arah pintu yang terbuka. Menyambutku. Wajah mereka terlihat cerah walau ketegangan terpancar. Hampir dua minggu Rendy tidak menyapaku meski dua-tiga kali kami berpapasan di kantor. Wajahnya yang suntuk membuatku menyelinap mencari jalan lain sebelum berpapasan dengannya. Kini wajah itu berubah drastis. Senyum di bibirnya terus tersungging.
Rendy bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mendekatiku, menepuk bahuku.
“Bagimana kabarmu, Bro?” tanyanya ceria.
Dia menggunakan frasa laiknya anak muda. Ingin berusaha terlihat akrab. Aku mendengus pelan. Tak kuacuhkan salamnya. Walaupun dia kakak kandungku, entah DNA busuk mana dari orang tuaku yang menurun padanya. Di matanya, orang hanya akan kelihatan baik bila berguna baginya.
“Baik,” jawabku cekak. “Tumben kau terlihat ceria?” lanjutku menusuk.
Wajahnya memerah. Kemarahan yang sempat menjalari sorot mata ditekannya. Dia beralih mengambil tempat duduk di samping papa. Aku tetap berdiri menghadapi dua pria sedarah itu dengan sikap kaku.
“Duduklah Rangga,” kata papa. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya lembut.
Aku menarik kursi di hadapan papa, mengenyakkan tubuhku seiring hempasan beban tanggung jawab yang diberikan.
“Baik, tidak ada masalah. Semua sesuai rencana,” jawabku malas.
“Syukurlah kalau begitu.”
Sebelum papa melanjutkan kalimatnya, ketukan pelan di pintu menengahi. Herman bergegas masuk, kemudian mengambil tempat duduk di samping Rendy.
“Langsung saja. Aku sudah mendapatkan apa yang kalian mau,” kataku tanpa tedeng aling-aling.
Aku sedang tak ingin basa-basi. Kuletakkan mini disc di atas meja, kusorongkan ke hadapan mereka. “Ini. Anggap saja hadiah akhir tahun dariku.”
Seperti disengat lebah, tiga laki-laki yang duduk di hadapanku itu bereaksi. Papa terbahak. Herman bertepuk tangan. Rendy melompat dari kursinya. Tanpa basa-basi Herman membuka laptop, menghidupkannya, menunggu sebentar hingga layar tampil sempurna. Tangannya cekatan memasukkan mini disc dariku ke port.
Tiga petinggi PT. Maheswara itu berkerumun menunggu perubahan tampilan layar. Tidak lebih dari dua menitdata terbaca sempurna. Bergantian mereka memeriksa satu persatu data yang terserap bug life.
Aku menunggu dengan perasaan tak menentu. Rasaku terbayar dengan jerit tertahan dan deheman aneh. Wajah-wajah tegang itu berubah tak menentu. Kadang mendelik, kemudian mengeram, sesekali mulut mengerucut melihat angka-angka yang terpampang.
Sedikit pun aku tak tahu dan tak ingin tahu apa yang membuat tingkah mereka kekanak-kanakan seperti itu.