Aku tidak bisa lagi membedakan antara harapan baik dan harapan buruk. Sejak hatiku terjerat pesona Kayla, aku tidak bisa memilih. Keseimbangan logikaku kacau balau. Berharap akan keberhasilan PT. Maheswara berarti berharap chaos pada perusahaan Kayla. Berharap kegagalan perusahaan, sama dengan kehancuran kehidupan para karyawan.
Waktu laiknya pesawat ulang-alik. Melesat cepat meninggalkan bumi, kemudian melambat saat berada di ruang hampa. Di saat berdua dengan Kayla, jarum jam serasa bergerak cepat, namun terasa berhenti saat berpisah.
Di setiap ada waktu, kami seolah tidak ada habisnya mereguk cinta. Namun setiap terbangun, jantungku berdegup kencang membayangkan vonis kematian yang akan kuterima apabila dia tahu pengkhianatan yang kulakukan.
Dua bulan setelah mini disc kuserahkan, gelagat perubahan mulai tampak. Kayla semakin sibuk. Jam kepulangannya bersamaan dengan jam pergantian petugas sekuriti. Setiap pulang wajahnya terlihat kusut. Masakan terbaik yang pernah kubuat tidak disentuhnya. Bawaannya berubah sensitif, kadang uring-uringan tanpa sebab.
Aku selalu mengalah. Menghiburnya dengan kalimat-kalimat penyemangat. Memijit kaki dan belikatnya. Menemani tidurnya hingga lelap. Rasa bersalah yang berkecamuk membuatku rela melakukan apa saja untuk wanita yang semakin erat menjerat hatiku itu. Bila sehari tak bertemu, waktu serasa berhenti berputar. Aku semakin tersekap dalam dekap rindu yang amat sangat.
Perlahan tapi pasti, rasa cintaku pada perempuan ini membesar. Membuat rasa itu menjadi narkoba yang memabukkan. Melilit hidupku, membetot sukmaku hingga tak mampu lagi berontak. Pada usia dua puluh delapan tahun aku mencintai seorang wanita untuk pertama kalinya. Sayangnya, seperti kata papa, cintaku jatuh pada wanita yang salah.
Sore itu di hari Sabtu akhir bulan Januari, hujan turun deras mendinginkan kota Jakarta. Pukul lima sore senja turun menutup keberadaan matahari. Kerlip sinar lampu semburat menyemarakkan kota. Malam ini Kayla mengajakku makan di luar. Ada berita besar yang akan dia sampaikan, katanya. Dia ingin menyampaikannya di sebuah restoran mewah di pusat kota Jakarta.
Tidak seperti biasa Kayla memintaku mengenakan jas lengkap. Aku mengiyakan dengan was-was. Benakku berkelindan menerka berita besar apa yang ingin disampaikannya.
“Aku sudah siap,” teriak Kayla dari ruang tamu.
Aku membalikkan tubuh. Menjauh dari balkon yang menyisakan kerlip lampu dan kesangsian. Mulutku tak henti berdecak kagum. Di hadapanku muncul sosok wanita dalam balutan pakaian pesta.
Rambut Kayla yang memanjang disanggul melingkar ke atas, dijepit dengan bros warna emas. Kalung bertakhta permata bertengger di lehernya yang jenjang. Memantulkan sinar putih sesuai kulit si pemakainya. Stocking hitam berpadu serasi dengan sepatu high heel warna sama, membuat tubuh Kayla menjulang untuk ukuran wanita pada umumnya.
“Wow, kau terlihat seperti bidadari,” pujiku tulus.
“Terima kasih. Kau juga kelihatan tampan dan gagah dengan balutan jas lengkap. Setampan saat pertemuan kita di konser.”
“Oh ya? Kau sudah menaruh perhatian padaku saat itu?” tanyaku menggoda.
Kayla jengah. Wajahnya kemerahan. Sungguh terlihat lebih cantik saat rahasia hatinya terbuka.
“Ya. Aku sudah jatuh hati saat itu. Jujur saja, sedikit cemburu melihat kau berjalan dengan wanita itu.”
Kudekati ia. Kucium pipinya lembut. Aroma wangi bunga semerbak dari lehernya. “Jujur saja, saat itu aku pun juga cemburu melihatmu berdua dengan bule itu,” bisikku di telinganya.
“Sudah, sudah. Jangan mencumbuku. Aku tidak ingin merusak dandananku.”
Kayla menggandeng tanganku keluar kamar. Melewati lobi utama tangannya masih melingkar erat di lenganku, membuat beberapa pasang mata menatap penuh iri. Kami putuskan menggunakan taksi ke restoran itu.
Taksi melibas temaram. Lambat tersendat meliuk pelan melewati barisan mobil yang berderet penuh. Rasa penasaran yang sedari tadi menggelegak tetap kutahan. Aku tidak ingin merusak malam ini dengan memaksa Kayla memberitahu berita apa yang akan disampaikan. Tidak ada percakapan yang berarti di dalam taksi kecuali sepasang jemari yang saling meremas.
Namun, remas kuat lima jari Kayla mengalirkan beribu pertanyaan. Seolah ia menginginkan kekuatan, ingin menyedot tenagaku dari jemari yang diremasnya. Kekasihku sedang gelisah. Kegundahannya semakin terasa dari ketatnya pelukan di lenganku saat kami turun dari taksi.
“Ada apa? Kau terlihat tidak tenang?” tanyaku.
Kayla menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin makan sepuasnya.”
Kepalanya di sandarkan ke bahuku. Kutuntun ia pelan mendekati restoran yang terletak di lantai empat puluh satu hotel berbintang lima di pusat kota. Gedung berbintang lima itu berdiri megah dengan tembok luar terbalut kaca. Dari dalam gedung, cahaya lampu terang memancar. Elevator pengangkut pun tak kalah mewahnya. Bau pengharum ruangan berkawan dengan parfum yasmin yang memuar dari tubuh kekasihku.
Ruang restoran pun semewah lobi hotel bintang lima. Papan nama tersorot lampu bertuliskan “New York Grill Restaurant” menyapa kami. Alunan musik klasik lembut terdengar dari denting piano yang dimainkan di pojok ruangan tersembunyi. Rhapsody in blue. Ya, aku hapal betul ketukan lagu yang pernah menemani jalinan cinta kami saat itu.
Pelayan muda dalam balutan pakaian jas lengkap menyambut. Kayla menyebutkan namanya. Pelayan itu mengangguk ramah. Mengantar kami menuju tempat yang sudah dipesan. Aku menarik kursi untuk Kayla, membimbingnya duduk, kemudian menarik kursi untuk diriku sendiri.
Tidak menunggu lama pelayan datang dengan daftar menu. Ada sedikit keanehan. Kayla tidak memesan minuman beralkohol untuknya. Dia hanya memesan steak grill daging sapi impor.
“Tanpa wine?” tanyaku memastikan.
“Tidak. Aku sedang tidak enak badan. Silakan pesan sendiri untukmu.”