Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #15

Bab 15; Pupus

Dering bel membuyarkan mimpi indahku. Seketika kelopak mataku mengerjap terbuka. Kulirik Kayla yang masih larut dalam nafas teraturnya. Sudut bibirnya tertarik ke samping. Dia tertidur dalam senyum. Aku berharap kekasihku itu melihat kehidupan bahagia dalam mimpinya.

Kembali bel berdering keras. Kali ini diiringi hentakan di pintu. Tidak semua orang bisa naik ke apartemen ini tanpa akses atau ijin dari yang empunya. Apalagi membuat gaduh di pagi hari. 

Tidur Kayla begitu pulas hingga tak tega aku membangunkannya. Dengan malas aku turun dari tempat tidur. Hanya dengan celana pendek dan balutan selimut tebal, kususuri dinginnya ruangan. Kakiku setapak demi setapak menuruni anak tangga. Gedoran di pintu yang mengeras mempercepat langkahku. 

Tanpa memeriksa siapa yang datang, kubuka pintu. Mataku yang masih setengah terkatup seketika membelalak lebar. Wajah penuh keriput dengan rambut keperakan berdiri tepat di depanku. Di belakangnya, dua laki-laki bertubuh dempal berkaca mata hitam berdiri tegap. Wajah dua lelaki itu dingin mematung tanpa senyum.

Mata tua pemilik Adnan Grup juga terbelalak melihat aku yang menyambutnya. Gerahamnya gemeretak menahan geram. Dahinya melipat hingga kerutnya terlihat bergelombang.

Tanpa meminta persetujuan dan basa-basi, dia mendorong tubuhku. Aku terjengkang mundur. Tanpa perlawanan kuberi jalan orang tua dan dua pengawalnya bergerak memasuki ruangan.

“Kayla! Kayla!” Kesetanan dia berteriak memanggil nama anaknya.

Adnan bergerak liar memeriksa seluruh ruangan. Ruang tamu, dapur, balkon. Tidak mendapati yang dicari, tubuh tua itu bergerak cepat melangkah ke lantai dua kamar tidur. Belum juga dia menyelesaikan tangga yang dinaikinya, Kayla sudah berdiri di anak tangga teratas.

“Papa? Ada apa pagi buta sudah di tempatku?

Sapa ramah anaknya tidak mengendurkan nada amarah Adnan Wijaya. 

“Turun kau! Cepaaat!” teriaknya.

Dia kembali ke ruang tamu. Berdiri mematung menunggu. Kayla jengah melihat dua laki-laki tak dikenal ikut berada di ruang tamunya. Pakaian yang membalut tubuh Kayla terbuka di beberapa bagian. Sekenanya dia cepat membenahi piama tidurnya. Mata dua laki-laki itu tidak terpengaruh dengan pemandangan di depannya. Tetap dingin. Sangar.

Aku berdiri menyandar ke tembok di sebelah piano. Jantungku berderap keras menunggu scene apa yang akan dimainkan pada babak drama selanjutnya.

Kayla duduk di sofa. Adnan Wijaya berkacak pinggang. Di atas meja sebuah amplop coklat tergeletak tertutup rapat. Kayla menarik tangan orang tua itu agar duduk di sebelahnya.

“Papa duduklah di sini. Tenangkan diri dulu. Kenapa pagi-pagi sudah marah?” Kayla merajuk.

Wijaya mengibaskan tarikan tangan anak perempuannya. Nafasnya menderu. Sorot matanya tajam menatap anak perempuan satu-satunya. Sorot mata itu memancar campuran antara kasih sayang dan kemarahan hebat.

“Lihat amplop itu! Kau akan menemukan jawabannya!” teriaknya.

Tubuhku yang hanya terbalut celana pendek dan selimut tebal ikut memanas. Yang tersisa dari dinginnya ruangan adalah dua laki-laki bertubuh dempal yang berdiri dengan wajah beku. Anak perempuan satu-satunya pewaris takhta Adnan Grup itu tetap mematung.

Lelaki tua itu meradang hebat melihat anaknya tak bereaksi akan perintahnya.

“Lihaaatt amplop Ituu!” Suara bentakan parau semakin memanaskan ruangan. Membuat aliran darahku mengalir semakin cepat.

Tangan Kayla merinding meraih amplop. Gemetar dia membuka dan mengeluarkan isinya. Setengah senti dokumen berikut kumpulan tebal foto-foto. Dari tempatku berdiri tak tampak jelas apa isinya.

Wanita yang kucintai itu meneliti lembar demi lembar kertas dan foto-foto itu. Matanya mendelik, dahinya mengernyit, hidungnya kembang kempis. Mimik wajah Kayla berubah-ubah.

Aku tetap terpaku dibalut seribu pertanyaan. Sejurus kemudian bahu Kayla bergetar hebat. Air matanya berderai-derai. Dadanya turun naik dengan cepat seolah ada beban berat yang menindih sehingga paru-parunya tak mampu memompa oksigen. Tangannya terkulai. Lembar dokumen dan foto-foto itu jatuh bertebaran di lantai.

Aku tak sanggup lagi berdiam diri. Kuraih lembaran-lembaran itu. Mataku mengerjap berkali-kali tak percaya. Foto-foto itu diambil oleh fotografer profesional dengan lensa jarak jauh dalam berbagai pose.

Foto Kayla keluar apartemen, naik taksi, menikmati lukisan monet bersamaku. Fotoku berada di konser sedang menatap Kayla dari jarak terpisah. Entah siapa pengkhianat yang selama ini menguntit kami. Deny?

Dan yang membuatku tak bisa mengelak adalah hasil kloning laptop Kayla. Data berlembar-lembar itu menuliskan dengan detail semua aktivitas laptop itu. Di kesimpulan disebutkan seseorang telah mengambil semua data yang tersimpan. Tanggal pengambilan data tepat dengan tanggal saat pertama kali kami terlibat cinta.

“Bangsat!” desisku pelan. Kukutuk kebohongan Om Herman. Tidak ada kejahatan yang tak akan terungkap.

“Ak—ku ... bisa menjelaskan semua ini” Nada kalimat yang meluncur dari bibirku terdengar tanpa kepercayaan diri.

“Bajingan! Tidak ada alasan lagi! Kau telah mempermainkan putriku! Kau telah menipu anakku. Kau gunakan bujuk rayumu untuk mendapatkan data perusahaan kami!” Suara Adnan Wijaya menggelegar. Nafasnya tersengal.

Sebelum kuberi jawaban, kakinya menghunjam ke perutku. Tendangan kaki milik orang tua itu tidak seberapa keras, tapi cukup bertenaga hingga tubuhku terjengkang menabrak dinding di belakang.

Aku bangkit. Merangkak mendekati Kayla yang masih duduk di sofa. Tangis kekasihku itu terus berderai tak berhenti. Isak keras yang keluar dari bibirnya seperti sayatan luka yang teriris sembilu. Aku memeluk kakinya. Menciuminya berkali-kali.

“Maafkan aku, ampuni aku ... Aku mencintaimu, beri aku kesempatan memperbaiki....”

Tidak ada jawaban dari Kayla kecuali teriak tangis yang mengeras. Setiap kalimat yang terlontar dari bibirku laiknya hunjam belati ke jantungnya. Mengirisnya berkerat-kerat hingga darah yang keluar tak tersisa lagi.

Sebuah jambakan mendarat di kepalaku. Menarik tubuhku kembali terjerembap. Salah satu laki-laki bertubuh kekar yang tadi mematung bergerak sebat membuatku terjengkang.

“Kau laki-laki bajingan! Aku akan membuatmu membusuk di penjara! Cuh! Cuh!” Laki-laki tua yang sudah kalap itu mendaratkan ludahnya berkali-kali ke mukaku.

Lihat selengkapnya