Hari itu juga kutinggalkan apartemenku. Dari hasil menjual arloji, mobil, dan barang-barang yang kupunya, aku pindah ke losmen kumuh di pinggiran kota Jakarta. Hari-hari kuisi dalam dekapan minuman keras dan penyesalan. Dalam keterpurukan nasib yang tak menentu, episode kelam hidupku dimulai.
Kayla seperti hilang ditelan bumi. Ponselnya tidak aktif lagi sejak peristiwa itu. Berkali-kali aku mencoba mengunjungi apartemen mewahnya, tapi staff operation desk mengkonfirmasi kalau dia sudah tidak menempati apartemennya lagi sejak hari itu.
Aku berusaha mencarinya di kantor Adnan Grup, tapi sepuluh meter sebelum menginjak halaman gedung, seorang laki-laki dengan balutan jas lengkap dan kaca mata hitam menghadangku. Dia menarik kemejaku, menyudutkanku di sebuah taman kecil. Aku berusaha melawan. Tapi ujung pisau yang ditekankan di pinggangku membuat nyaliku ciut.
Laiknya film action romansa, atau novel fiksi asmara, seharusnya aku memberanikan diri menghadapi segala rintangan. Menerjang, menghajar dan membumi hanguskan semua bajingan-bajingan yang menghadang cintaku. Ternyata, aku bukan tipe pahlawan hati. Pun, aku bukan termasuk pangeran yang berhati baja membebaskan putri yang ditawan raksasa di sebuah puri.
Alih-alih berusaha lebih keras, aku malah terpuruk dalam dekapan minuman keras. Setiap malam, setiap waktu, bersanding dengan cairan alkohol berbotol-botol. Aku pecundang sejati.
Tidak ada seorang pun yang mencariku. Papa, Rendy, Om Herman, dan semua karyawan Maheswara seolah menganggapku tak pernah ada. Minuman keras adalah teman setiaku. Setiap saat aku mabuk tanpa melihat tempat dan waktu. Di kamar, pub, taman, bahkan di kursi panjang stasiun. Sepi dalam keterasingan adalah pergulatan hidupku tiap hari. Hingga suatu hari, laki-laki itu muncul di pintu kamarku.
Dia membuka pintu kamarku secara paksa dengan bantuan petugas pengamanan setelah putus asa menggedor kamarku berkali-kali tapi tidak kubuka. Bukannya aku tidak mendengar gedoran itu, tapi, aku sengaja membiarkannya.
Laki-laki itu berdiri membelakangi pintu yang terbuka. Cahaya yang menyorot dari luar kamar membuat tubuh kurusnya seperti batang sapu. Kehadirannya mengganggu keasyikanku.
“Siapa kau? Pergi!!”
“Namaku Hotma, pengacara PT. Maheswara,” katanya.
Kukuliti sekali lagi penampilannya. Kukerjapkan mataku berkali-kali. Kala mataku memindai detail tampilannya, ledakan tawa tak dapat kutahan lagi. Kamar murahan yang bau dan pengap ini terlihat kontras dengan performanya. Setelan jas mahal warna hitam. Sepatunya mengkilap tertimpa selarik sinar lampu temaram di sudut kamar.
Dia menenteng tas kerja bermerek yang terbuat dari kulit sapi. Ketika dia mendekat dan berjongkok di depan tubuhku yang masih tertidur di atas kasur lapuk, kilatan mengkilap yang dihasilkan dari cincin emas bertakhta berlian menghias jari manis kirinya. Kilau itu menyergap mataku. Aku pernah mendengar kalau PT. Maheswara membayar mahal seorang pengacara terkenal untuk membantu dalam bidang hukum bisnis, tapi tidak kukira semahal itu.
“Untuk apa Rendy mengirim pengacara terkenal ke ruang bobrok ini?” tanyaku malas.
“Bukan Pak Rendy,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu, Papa? Untuk apa?”
“Nanti akan saya jelaskan di tempat pertemuan.”
Kutolak tegas ajakannya. “Aku tidak tertarik!” dengusku kesal.
“Keluarga Adnan Wijaya juga menunggu.”
Jantungku serasa disengat kelabang beracun. Setelah sekian minggu hari-hariku dipenuhi bayang-bayang keluarga itu, kepala rumah tangganya ingin bertemu denganku.
“Adnan Kayla?” Pertanyaanku mengambang penuh harap cemas.
“Saya tidak tahu apakah Nona Adnan Kayla juga ikut hadir. Yang pasti, pertemuan ini melibatkan dua perusahaan. Maheswara dan Adnan.”
Alasan satu-satunya yang membuatku berdiri dan memutuskan untuk ikut dengan pengacara ini adalah nama kekasihku disebut. Aku tak peduli dengan urusan perusahaan. Masa depan karyawan bukan tanggung jawabku. Kerinduan membuncah akan bertemu kekasih yang menyemangatiku.
Kupaksa tubuhku berdiri. Botol dalam dekapan kuserahkan ke Pengacara itu. Dia menyingkirkan botol itu jauh dari jangkauanku seolah takut aku urung pergi dan kembali dalam dekap kenikmatan cairan itu.
“Kasih waktu lima belas menit. Aku ingin membersihkan diri,” pintaku.
Hotma menggelengkan kepalanya tegas. “Tidak ada waktu. Lima menit saja,” perintahnya sambil meninggalkan kamar.
Kalau saja bukan keinginan berjumpa Kayla yang menyesak, sudah kuusir pengacara tak diundang itu. Datang tanpa salam berlagak bos main perintah, bahkan meminta waktu lima belas menit pun tak diizinkannya.
Hotma sudah menunggu di luar pintu kamar. Ia berdiri menatap lurus pemandangan di pinggir jalan. Pandangannya kosong tertuju pada satu tempat. Dahinya berkerut. Aku yakin jiwanya tidak sedang ikut bersama pandangannya. Mungkin otaknya sedang berpikir keras langkah apa selanjutnya yang akan diambil.
“Bagaimana kau bisa menemukanku?” tanyaku di sela langkah kami mendekat Benz-nya yang sudah menunggu.
Hotma membuka pintu mobil. Sebelum kami menghempaskan diri di jok kulit mewah coklat muda, Hotma menatapku sembari senyum ejekan menghias bibirnya.
“Jangankan kelas gelandangan sepertimu, penjahat besar saja bisa kutemukan.”
Ingin kuhancurkan senyum itu hingga rontok giginya. Alih-alih menjawab ejekannya, kuenyakkan pantatku di jok mobil dengan kesal. Kalau saja bukan karena angan bisa bertemu Kayla, akan kutinggalkan dia dengan sumpah serapah.
Butuh satu jam berkendara. Kantor Hotma & Partner yang menempati satu lantai penuh di gedung bertingkat dua puluh terlihat sepi.
Pengacara itu tidak membawaku memasuki kantor lewat jalan utama. Di depan meja penerima tamu, dia mengambil jalan memutar lewat belakang. Mengisyaratkan pertemuan yang akan kami lakukan bukanlah pertemuan untuk konsumsi umum. Dari sekat tembok kaca pembatas, sekilas ekor mataku menangkap tujuh orang pegawai yang tekun di depan komputer masing-masing.