Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #17

Bab 17: Akhir yang Menyakitkan


Hidupku semakin terpuruk ditemani berliter minuman keras sebagai pelampiasan. Tiap hari, siang malam, berkutat dari pub ke pub. Bayangan Kayla dan keputusan yang diambilnya terus berkutat tak berkesudahan. Penolakan dan bermacam ancaman tidak menyurutkan keinginanku. Bahkan, aku semakin nekat. 

Tiap hari aku berkeliaran di lingkungan apartemen orang tuanya. Berusaha mencari nasib baik, siapa tahu bisa berjumpa dengan Kayla walau hanya sekejap. Sialnya, nasib baik tidak pernah singgah lagi. 

Seperti hari-hari sebelumnya, dini hari itu langkahku sempoyongan meninggalkan pub. Di tanganku sebotol vodka isi separuh. Jiwaku melayang jauh. Setiap tapak langkahku beriring kekosongan tak berarti. 

Tiba di ujung jalan menuju arah apartemenku yang kumuh, aku berbelok ke jalan kecil. Penerangan jalan hanya terpantau lewat lampu yang meredup. Toko dan kios di sisi kanan kiri sudah tutup. Sesekali dua tiga orang berjalan dengan langkah lebar. Tidak ada satu pun mobil yang melintas. 

Sekelompok anak muda berjalan beriringan mendekat. Lima anak muda dengan penampilan layaknya gerombolan pengacau itu berjalan tanpa arah. Saling dorong, terbahak-bahak sambil melempar canda kotor. Dari penampilan dan gayanya, kuduga mereka sama denganku; manusia-manusia kalah yang tersisa di sudut kota metropolitan yang kejam. 

Semakin mendekat, mereka berjalan menyebar tak memberi ruang. Salah satu dari mereka sengaja menyenggol botolku hingga jatuh. Menumpahkan sisa isinya. Gairahku meluap, kemarahan yang selama ini menggumpal tak terbendung. Tangan kananku yang bebas melayang cepat ke mukanya. Pukulanku telak mengena. Dia jatuh terjengkang.

Empat pemuda lain tanpa dikomando mengerubutiku. Mereka melayangkan pukulan dan tendangan bersamaan. Dalam keadaan normal saja aku belum tentu bisa menghadapi mereka, apalagi dalam keadaan mabuk. Tubuhku menjadi bulan-bulanan. Aku laiknya anak anjing dipermainkan anak-anak nakal. 

Aku berusaha bangkit, namun gigitan di organ tubuh membuatku kembali menunduk. Kesadaranku lambat laun semakin menjauh. Tapi kulawan sekuat tenaga. Aku masih belum ingin mati. Aku tak ingin perjalanan hidupku berakhir di gang sempit seperti ini.

Gigi geraham kukerat kuat-kuat. Sisa-sisa tenaga kukerahkan hingga batuk menyerang rongga dada. Perlahan kakiku kembali terisi tenaga, tanganku menopang berat tubuh, nafasku satu-satu menderu.  

Kudekati halte taksi yang berjarak kurang dari sepuluh langkah. Perlahan dengan sisa tenaga yang ada, kupaksakan diri menyeret kaki yang mulai kehilangan rasa. Beberapa pasang mata yang berpapasan menatapku. Mereka melengos pura-pura tak melihat. Sifat individu akut yang melingkupi penghuni kota besar akhirnya keluar sebagai pemenang. Mereka membiarkanku sempoyongan mengerang kesakitan. 

Akhirnya langit masih berbaik hati padaku. Sebuah tangan kokoh memapahku. Membantuku melangkah.

“Kelihatannya Anda sakit. Anda butuh perawatan di rumah sakit.”    

“Terima kasih, terima kasih sekali,” kataku di sela nafasku yang memburu.

Laki-laki itu entah dari mana datangnya. Tingginya sama dengan tinggiku. Kelopak mataku yang bengkak tidak dapat mengidentifikasi wajahnya. Dia melingkarkan tanganku ke pundaknya. Aku bisa merasakan otot-otot yang kuat di dalamnya. Tangan kirinya menggapai tubuhku. Menuntunku pelan. 

“Itu mobil saya. Ayo sedikit lagi”

Laki-laki itu mengarahkan langkahnya ke sebuah sedan putih yang terparkir di pinggir jalan. Dia membuka pintu samping untukku, meletakkan tubuhku yang lemah ke jok, memasangkan seat belt, menutup pintu dengan lembut. Kemudian setengah berlari menuju pintu mobil sisi lainnya. Dia melakukan semua aktivitasnya dengan sangat hati-hati, seolah takut menambah luka di tubuhku. 

Perlahan mobil melaju pelan membelah jalan raya. Memutar di beberapa kelokan, berhenti di lampu merah, kemudian melaju perlahan di jalan besar yang masih lengang. 

“Nama saya Maheswara Rangga. Terima kasih sekali lagi. Anda telah berbaik hati menolong saya,” kataku memperkenalkan diri.

Laki-laki yang duduk di sebelahku itu tidak menjawab. Pandangannya masih konsentrasi ke depan. Ufuk timur meledak bersama semburat pelangi warna-warni. Terbantu sinarnya, sosok wajah tanpa senyum melintas di bola mataku. 

Lihat selengkapnya