Pemuda itu menunduk hormat, menyapaku salam pagi. Usianya sekira dua puluh empat tahun. Berperawakan sedang, wajah klimis, rambut tersisir rapi. Yang paling kusuka dari dirinya adalah senyum ramah yang selalu mengembang.
Namanya Misto. Sopir baru. Wakidi, sopir yang menemaniku setahun ini mengundurkan diri. Pembawaan Misto kalem. Begitu pun saat berkendara. Dia lebih banyak diam, tidak memulai percakapan bila tidak kutanya. Tindak tanduknya sopan.
Misto berasal dari pula Jawa, entah di provinsi mana. Satu tahun ini aku seolah katak dalam tempurung. Menghabiskan seluruh waktuku di seputar pula Bali, meniti hari demi hari sambil berharap pedih menghilang sendiri. Namun, harapanku semu. Rasa ini semakin menyakiti.
Satu tahun sejak kakiku menginjak pulau Dewata, tidak ada perubahan signifikan dari diriku. Malam-malamku masih tetap berisi mimpi gersang dan menyakitkan. Bayangan Kayla setiap saat menemaniku bersama beragam pertanyaan tanpa jawaban.
Enam bulan pertama kuhabiskan dengan menjelajah setiap inci pulau ini. Dari ujung pantai gilimanuk hingga pantai paling barat. Dari tempat wisata mainstream seperti pantai Kuta, Sanur, Bedugul, Besakih, hingga ke tempat-tempat yang masih jarang tersentuh.
Ketika rasa kangen pada Kayla menyergap, kubawa jiwaku mendaki bukit Mende. Berdiri di puncak bukit itu serasa dekat dengan langit. Tanganku seolah sanggup menggapai awan di tengah hamparan hijau pepohonan. Kala kerinduan tak sanggup kubendung lagi, kuteriakkan rasa itu ke langit. Kuberharap angin menyampaikannya ke telinga kekasihku.
Enam bulan setelah menjelajah semua area, makan, tidur, hidup bersama masyarakat Bali, sedikit, hanya sedikit sekali relung kosong di hatiku yang selama ini meranggas ter hijaukan. Wajah-wajah damai penduduk Bali saat bersembahyang ikut menyinari hatiku. Walaupun sosok Tuhan bagiku masih semu, tetapi kepasrahan akan kekuatan besar yang menguasai hidup mereka membuatku ikut larut dalam doa yang mereka panjatkan. Telingaku dininabobokan oleh kidung pujian yang keluar dari bibir-bibir pemanjatnya. Menentramkan.
Uang tabunganku lumayan besar dari penjualan mobil, arloji mewah dan pesangon dari papa. Lebih dari cukup untuk membawa malam-malamku tenggelam dalam pesta di pantai Kuta, menyibukkan diri dalam minuman keras ditemani wanita-wanita kesepian yang turut larut dalam pencarian makna hidup, hingga berakhir pada kekosongan lain yang lebih menggigit.
Hingga pada suatu ketika, puncak tangga Pura Besakih menyadarkanku untuk mengakhiri kekosongan perjalanan ini.
Aku butuh aktivitas. Butuh pekerjaan. Bukan gaji besar yang kubutuhkan. Cukup sekedar untuk makan, dan tantangan pekerjaan sebagai pengisi sepi. Made, pemilik perusahaan yang dikenalkan temanku, gembira menerimaku. Hanya dengan menyediakan makan sehari tiga kali, rumah kontrakan, mobil sederhana beserta sopirnya, dia sudah bisa mendapat pegawai yang lumayan fasih dalam berbisnis.
Enam bulan bekerja aku sudah mendapatkan beberapa pembeli potensial. Tiga perusahaan Jepang membeli handicraft satu container per bulan dengan nilai tiga ratus juta rupiah per satu container tanpa dipotong komisi.
“Kita ke mana, Tuan?” tanya Misto.
Selama satu bulan menemani, beberapa kali aku menyuruhnya memanggil namaku saja. Tetapi Misto tidak mengindahkan. Katanya, panggilan “Tuan” sebagai bentuk penghormatan karena aku selalu memperlakukannya dengan baik. Sesekali memberi uang tip bila pulang terlalu malam.
“Ke Nusa Dua. Aku ada pertemuan makan siang dengan pembeli potensial.”
Misto mengangguk. Mobil meluncur pelan membelah jalan kota Denpasar. Tiga ratus meter bergerak, mobil mulai merambat.
Kepadatan akhir pekan mulai terasa. Jalan By pas sudah tidak muat lagi menampung kemakmuran yang menghinggapi gaya hidup penduduk Bali. Bila musim libur panjang tiba, mobil semakin mengular. Membuatku malas keluar.
Jam digital di dash board menunjukkan angka sebelas lebih tiga puluh menit. Dari kota Denpasar ke hotel di daerah Nusa Dua masih memerlukan satu jam lagi, berati tiga puluh menit akan terlambat dari jadwal pertemuan makan siang yang ditetapkan.
Aku yakin dua orang tamuku itu mau menungguku. Apa boleh buat, ini Indonesia. Waktu tak bisa diprediksi. Sambil menunggu, toh mereka bisa menyusuri lembutnya pasir pantai Nusa Dua. Atau, berjemur sejenak di pantai sambil menikmati pijatan jemari lentik ibu-ibu.
Misto terlihat resah. Pantatnya tak enyak duduk di balik kemudi.
“Tenang saja. Tidak apa terlambat, yang penting selamat sampai tujuan,” kataku menenangkan.
Misto tidak juga tenang. Berkali-kali matanya mengarah ke jam digital, kemudian melihat jam tangan yang melilit pergelangan tangan kirinya.