Kuguyur tubuhku dengan air dingin. Satu gayung, dua gayung, seinci demi seinci. Setiap rembesan air membasahi kulit tubuh. Pasir pantai Kuta yang menempel selepas surfing tadi terbilas habis. Kulitku yang dulu cerahberangsur gelap. Sengatan matahari pulau Bali membuat kulit tangan, kaki dan wajahku terbakar kecokelatan.
Rambutku menutup leher belakang walau tetap tersisir rapi. Cambang dan kumis kubiarkan memanjang hingga membuat usiaku terlihat tua dari aslinya. Bukan tidak ada waktu untuk bersolek, aku hanya tidak ingin tampil perlente seperti dulu. Hatiku sudah mati untuk wanita. Melewati satu hari tanpa mimpi buruk dalam sergap bayang Kayla merupakan kemewahan.
Aku terus berkutat dengan masa lalu. Kenangan pahit dan manis bergantian merobek semua keindahan yang harusnya kureguk di pulau ini.
Teriring debur air yang jatuh dari gayung, ketukan di pintu kamarku terdengar lamat. Semakin lama, ketukan di pintu semakin mengeras.
“Tunggu sebentar!” teriakku.
Sesegera mungkin aku mengelap air yang masih menetes di sela-sela tubuh. Entah kenapa, aku trauma dengan ketukan pintu. Aku bahkan tidak ingin memasang bel. Setiap ketukan di daun pintu seolah membawaku pada kenangan pahit. Menggiringku menemui orang-orang yang telah membuat hidupku merana.
“Siapa?”
“Maaf Tuan. Saya, Misto,” teriak suara dari luar.
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Untuk apa sopir ini muncul di malam hari kerja. Setelah mengenakan celana pendek dan kaos oblong, aku menarik gagang pintu. Wajah Misto muncul di tengah temaram sinar lampu teras. Cahaya dua puluh watt menerangi wajah adem pria muda di depanku ini.
“Ada apa, Misto?”
Dia menyorongkan sebuah dompet. “Tadi tertinggal di jok belakang.”
“Ah, terima kasih.”
Kuterima dompetku. Membukanya, mengeluarkan satu lembar seratus ribu. Aku tidak banyak membawa uang cash. Sekilas kuhitung masih ada enam lembar ratusan ribu. Masih utuh sesuai saat aku menghitungnya tadi pagi.
“Ini, buatmu.”
Misto mengangkat tangannya. Ia menolak pemberianku.
“Tidak usah, Tuan.”
Aku sedikit memaksa. “Sudahlah, terima saja. Aku ikhlas, kok”
Misto bersikukuh. “Tuan sudah baik sama saya. Kali ini tidak usah. Saya juga ikhlas mengembalikan,” jawab Misto.
Dia tersenyum renyah. Aku tertawa ringan.
“Kalau begitu saya pamit dulu.”
Misto beranjak membalikkan tubuh setelah mengangguk hormat. Aku terkesan dengan makhluk satu ini. Sebulan lebih bersentuhan dengannya, semakin aku mengenal pribadinya, semakin besar keinginan tahuku untuk mengorek latar belakang kehidupannya. Di tengah carut marut dunia yang keras dan penuh intrik, masih ada manusia jujur, ramah, sopan seperti dia.
Sebelum Misto beranjak pergi, aku menahannya. “Misto, tunggu. Kau pernah bilang dari pulau Jawa?” tanyaku.
Misto menghentikan langkahnya. Membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. “Betul Tuan. Dari Jawa Timur, Kabupaten Probolinggo.”
Aku tahu Jawa Timur, tapi aku tidak familier dengan wilayah kabupaten yang disebutkannya.
“Di mana tepatnya?”
Misto berpikir sejenak. Dia berusaha menerangkan wilayahnya segampang mungkin. “Dekat Gunung Bromo.”
Pendengaranku serasa digigit ular berbisa. “Ha? Mana?” Aku terlonjak.
Penyebutan tempat wisata itu membuatku tak bisa menahan kaget. Bayangan Kayla menyergap. Tempat wisata terakhir yang ingin kami kunjungi melintas cepat di benakku. “Suatu hari aku akan ke sana. Melihat langsung kawahnya, menapakkan kakiku di lautan pasirnya, menancapkan jejak-jejak langkahku di stairs of heaven, tangga surga. Dan, menghabiskan masa tuaku bersamamu,” bisik Kayla saat itu.
“Kenapa Tuan?” Misto balik bertanya.
Aku tidak menjawab. Benakku masih penuh dengan malam terakhir bersama Kayla sebelum kebahagiaan itu hancur dengan ketukan pintu di pagi hari.