Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #20

Bab 20; Dejavu


Degup jantungku berdetak lebih kencang. Sebentar lagi tempat menjanjikan kebahagiaan yang pernah ingin kurajut bersama Kayla ada di depan mata. Rasaku bercampur aduk. Sedih, kecewa, penasaran, meletup dalam satu ungkapan yang tak bisa kulukiskan. 

Jalanan semakin menanjak. Mobil sewaan melaju dengan kecepatan sedang saat mendaki, kemudian berkelok. Jendela mobil kuturunkan hingga terbuka penuh. Udara dingin nan segar menerpa wajah, rambut, hidung. Kuhirup penuh udara segar khas pedesaan itu. Kuisi penuh paru-paruku. 

Sayuran menghampar siap untuk dipanen. Gemercik air mengalir, pepohonan menghijau tegak perkasa. Semuanya terhampar indah, memesona dibalut ribuan kicauan burung. Di Bali aku juga bisa menemukan pemandangan seperti ini. Yang membedakan adalah di sini bayangan Kayla semakin kerap menyergapku sejak roda pesawat mendarat. 

Saat Misto mengiyakan permintaanku, bayangan Kayla terus bergelut keras dengan kenangan indah yang pernah kami habiskan. Sesaat kemudian kenangan indah itu hancur berantakan. Di saat seperti itu, aku membutuhkan cairan alkohol sebagai pelarian. Minuman yang sanggup membuat otakku berhenti berpikir dan tidur pulas dengan mendekap teman setia yang selalu ada saat kubutuhkan. 

Sudah dua hari ini aku menjauhi “Teman setiaku” itu. Aku sedang berusaha keras tidak tergantung padanya. Akibatnya, malam-malamku penuh siksa dan lecutan mimpi yang menyakitkan. Dalam perjalanan ini aku tidak membawa minuman itu. Karena kupikir tidak layak bertamu ke sebuah lingkungan bersama barang yang mereka tolak. Dorongan hati untuk melihat langsung tempat harapan Kayla yang tak terwujud melawan keras keinginanku untuk terus tenggelam dalam buaian dunia palsu. 

Mobil semakin mendekat ke tempat yang kutuju. Angin dingin menerjang. Sosok Kayla semakin terlihat di semua detail pemandangan. Wajahnya menggelayut penuh kesedihan dalam lambai dedaunan. Suaranya yang merdu berteriak histeris dalam batang sayuran sawi, memanggil-manggil namaku meneriakkan pengkhianatan yang telah kulakukan. 

Tekanan dahsyat akan rasa bersalah membuatku membutuhkan “teman setiaku” lagi. Aku ingin menenggaknya hingga tak tersisa setetes pun. Seperti apa yang dilakukan teman setia, walau hanya sementara, cairan alkohol sanggup memompa semangatku, membangkitkan semua sel-sel kehidupan, memberiku jalan untuk sejenak melupakan derita. Jari jariku gemetar, nafasku tersengal, kepalaku berdenyut sakit, gendang telingaku mengiang keras. Tanpa sadar aku mengumpat pelan.

Misto yang duduk di depan tersentak. Kepalanya menoleh ke belakang. Melihatku dengan pandangan khawatir. “Ada apa, Tuan?”

“Tidak apa-apa. Hanya saja udara semakin dingin,” elakku. 

Aku menutup jendela rapat hingga suara teriakan serangga di luar terhambat masuk ke dalam mobil. Seiring suara jendela lekat menerpa jepitan karetnya, bayangan Kayla sementara memudar. 

“Wajah Tuan terlihat pucat sekali. Tuan masuk angin?” tanya Misto masih dengan nada Khawatir.

Aku menggeleng, tersenyum. “Jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Seharusnya kamu yang pucat. Sejak pagi hingga kini perutmu kosong.”

“Kan saya puasa, Tuan?”

“Pak Sopir puasa?” tanyaku pada sopir yang duduk di sebelah Misto.

 “Saya tidak puasa Tuan. Musafir tidak apa-apa tidak puasa, Tuan,” katanya jengah.

 “Tapi, harus mengganti di lain hari lho, Pak” sela Misto.

Pak Sopir sekira umur lima puluh tahunan seketika terdiam. “Ya, kalau kuat, Mas. Kalau tidak kuat masak harus dipaksakan,” hela Pak Sopir.

 “Ah, sudahlah. Lebih baik kita bicara tentang Gunung Bromo saja, ya,” pintaku menyudahi debat yang tak berkesudahan.

Mobil berkelok, menurun, menanjak lagi. Jalan beraspal menyempit saat sebuah gapura dengan tulisan “Desa Wonojoyo” menyambut kedatangan kami. 

Di sisi kanan kiri jalan, bangunan tembok berdiri bersisian. Bersih, tidak ada kesan sebuah desa tertinggal layaknya desa kecil di sebuah pegunungan dengan rumah berdinding bambu. Beberapa rumah bahkan berlantai dua dibangun dengan nuansa arsitektur modern. Perekonomian desa yang ditunjang dari pertanian dan pariwisata membuat penghuninya lumayan hidup makmur walau dibilang tidak mewah.

Matahari bergerak cepat meninggalkan ufuk timur sejak keberangkatan kami meninggalkan Pulau Bali. Saat ini, Sang Surya mendekati ufuk barat, sebentar lagi tenggelam ditelan gelap hutan Gunung Bromo. 

Mobil berhenti tepat di sebuah mulut gang kecil. Pak sopir membantu kami menurunkan tas. Aku mengangsurkan beberapa lembar ratusan ribu rupiah sesuai harga kesepakatan. Senyum mengembang lebar dari bibir pak sopir saat aku menambah dua lembar ratusan ribu untuk tip. 

Mata Misto menyipit melihat keroyalanku. Setelah saling mengucap salam, mobil melaju menuruni jalan kembali menuju Surabaya.

“Saya bawakan, Tuan.” 

Di bahuku terpanggul ransel. Misto berusaha meraih tas koper besar dari genggamanku. Kutolak. Kebiasaan Misto selama ini sebagai sopir yang melayaniku masih terbawa. 

“Kali ini kita bukan sebagai atasan dan bawahan. Hubungan kita saat ini adalah teman. Tolong jangan bersikap seperti di Bali,” kataku tersenyum.

Lihat selengkapnya