Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #21

Bab 21; Doppelganger


  Doppelganger, kembaran yang tidak berhubungan darah. Berasal dari bahasa Jerman, Doppel ( dobel ) dan Ganger ( Pejalan ), yang mempunyai arti kembaran yang berjalan. Atau kembaran hidup. 

Teori tentang kembaran hidup ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Teori ini telah menginspirasi banyak lagu, puisi, hingga novel. Manusia yang mendiami planet ini telah mencapai tujuh miliar lebih. Besar kemungkinan kita mempunyai “Kembaran” yang tidak ada hubungan darah dengan kita. 

Teghan Lucas, seorang profesor dari Universitas Adelaide telah melakukan uji coba akan teori ini. Dengan menggunakan kumpulan foto anggota militer Amerika, dia menganalisis lebih dari wajah empat ribu orang. Profesor Teghan mengukur jarak anggota tubuh di wajah, misalnya mata atau telinga. Selanjutnya dia mencari kemungkinan kesamaan antara mereka. 

Dari percobaan itu, dia menyimpulkan, dari tujuh milyar penduduk bumi, satu dari seratus tiga puluh lima orang memiliki doppleganger. Misal; Selma Blair dan Kris Jenner, Helen Mirren dan Jennifer Lawrence, atau Chika Jessica dan Koo Hye Sun. Mereka adalah orang-orang yang berbeda Negara dan Bangsa, tapi mempunyai kemiripan. 

Banyak yang bilang aku mirip dengan Hyun Bin, artis terkenal Korea yang banyak digilai wanita. Tekstur wajahdan gerak gerikku seperti dia. 

Malam saat buka puasa, mataku hampir tak pernah lepas dari Ratna. Semakin kucari perbedaan dengan wajah Kayla, semakin kutemukan banyak kesamaannya. Kalau saja Kayla disandingkan dengan Ratna, keduanya bak pinang dibelah dua. Yang membedakan hanya kecerahan kulit. 

Kulit Kayla lebih terang dan putih sedangkan kulit Ratna walaupun termasuk lebih terang dari orang Indonesia pada umumnya, namun tidak seputih kulit Kayla. Selain warna kulit, hidung, rahang, bentuk kelopak mata, alis, bibir, rambut, leher, dan detail tubuh Kayla lainnya yang masih terpatri di benakku hingga kini persis sama. 

Setiap ada kesempatan aku mencuri pandang. Saat bola mata kami bertemu, Ratna menundukkan kepala atau mengalihkan pandangannya. Ayam bakar bumbu pedas dan sayur lodeh di depanku hanya sedikit kusentuh. Nafsu makanku hilang entah ke mana. Suap kecil ke mulutku di antara percakapan hangat di meja makan hanya sebuah pengisi kekosongan. 

“Nak Rangga tidak makan? Masakan Ibu tidak enak ya?”

Mataku yang sedari tadi menatap ayam bakar warna kemerahan spontan beralih ke si penanya. Sambil tersenyum ramah aku menggelengkan kepala. 

“Enak kok, Bu. Cuma saya lagi nggak nafsu makan. Mungkin sedikit capek.”

“Tuan … eh, Rangga sakit?” tanya Misto masih belum terbiasa menyebut namaku.

Aku menggeleng. 

Lihat selengkapnya