Berjarak puluhan rumah dari rumah Misto, sebuah rumah tua yang sangat sederhana akan menjadi tempatku berlabuh untuk beberapa hari. Rumah dengan pintu tertutup itu hanya diterangi lampu pekarangan dan lampu teras. Satu meja dan tiga kursi dari kayu adalah satu-satunya penghuni teras. Bau menyengat kotoran binatang ikut menyapa kedatangan kami.
Kabut tebal mulai turun. Dua sinar lampu yang memancar dari rumah itu tak mampu menerangi gelap sekitar.
“Assalamu’alaikum,” kata Misto. Dua tiga kali dia mengetuk pintu yang tertutup rapat itu.
Suara gesekan sandal terdengar diseret dari dalam. Seorang pemuda berwajah teduh menyembul dengan senyum mengembang. Wajahnya bersih tertimpa lampu. Jenggot di dagunya tertata rapi tanpa kumis penghias bibir. Kelopak matanya dalam menangkup bola mata yang tajam. Topi hitam berpadu dengan baju putih lengan panjang dan sarung. Bibirnya ditarik lebar saat menyapa kami.
“Wa’alaikum salam. Masuk, Bro,” katanya.
Dia menjabat tangan Misto, kemudian memeluk erat tubuhnya. Setelah melepaskan pelukan, Misto memperkenalkan aku.
“Kenalkan, ini Maheswara Rangga, atasanku yang kapan hari kubicarakan lewat telepon.”
Pria itu mengulurkan tangannya. Jabatannya hangat saat aku menggenggam telapak tangan kanannya. Dia mengguncangkan mantap.
“Aliman.”
“Panggil aku Rangga. Maaf merepotkan.”
“Sama sekali tidak merepotkan. Saya bahkan merasa senang bisa berkenalan dengan Rangga. Merasa terhormat Anda mau menginap di gubuk kami,” kata Aliman merendah.
First impression pada pemuda ini membuatku langsung merasa betah. Dia cepat akrab.
Tak lama, sepasang suami istri yang terlihat tidak lebih dari lima puluh tahunan muncul dan menyambut kami hangat.
Bu Aminah dan Pak Manaf memintaku menganggap rumahnya seperti rumah sendiri. Kami cepat akrab. Aku senang keberadaanku diterima dengan baik di keluarga ini. Setelah beberapa ucapan salam, kedua orang tua Aliman masuk ke dalam untuk istirahat. Bu Aminah harus bangun jam dua pagi untuk menyiapkan makan sahur. Dia bertanya apakah aku juga ikut makan sahur? Aku hanya tersenyum lebar.
Bertiga kami duduk melingkar di teras. Ketela pohon rebus, singkong bakar, dan kopi tubruk menemani percakapan dua teman yang lama tidak bertemu. Aku hanya diam mendengarkan. Sesekali lenguh binatang berkaki empat ikut mengiringi percakapan mereka. Bau khas kotoran hewan kerap menyapa.
Lamunanku ikut melayang mendengar kisah pertemanan dua sahabat yang tiga tahun ini tidak bertemu. Pembicaraan mereka tentang masa-masa di Sekolah Dasar, tentang berkebun, tentang pengalaman saat pertama kali menunggang kuda, tersampaikan lewat kebahagiaan yang terpancar di wajah keduanya.
Hatiku disergap sepi. Betapa bahagia mempunyai sahabat untuk berbagi.
Setelah kepulangan Misto, Aliman membawaku ke kamar. Ia mempersilahkanku untuk beristirahat.
Sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter dengan tempat tidur dari kayu akan menjadi tempatku di sini. Tidak ada kamar mandi dalam. Rumah dengan tiga kamar tidur ini hanya dilengkapi satu kamar mandi di luar bangunan. Bau wangi sabun menyembul dari seprei, sarung bantal-guling dan selimut tebal yang aru dicuci.
Setelah mengganti pakaian, kuhempaskan tubuhku di atas dipan dengan kasur kapuk kasar. Kain tebal menyelimuti tubuhku dari kaki hingga dada. Dingin cuaca di luar merasuk hingga kamar. Tidak ada fasilitas pemanas air, entah berapa hari aku tidak akan mandi.
Malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Aku tidur pulas tanpa mimpi buruk berkepanjangan. Bertemu lagi dengan Doppelganger Kayla, puncak gunung Bromo beserta stairs of heaven-nya, membuatku tak sabar untuk segera mengganti hari.
***