Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #23

Bab 23; The Magical of Bromo


Pandangan Aliman fokus ke depan. Misto duduk di sebelahnya. Lampu mobil terpancar terang menembus kabut. Jalanan sekitar gelap gulita. Aku merasa berada di sebuah lorong gelap, hanya sinar lampu dari mobil sebagai petunjuk arah. Mobil meliuk saat tikungan tajam, menurun, kemudian berlari landai. Debu beterbangan menggumpal. Menutup lekat jalan. Jarak pandang tak lebih dari satu meter. 

“Kita berada di lautan pasir,” terang Misto. 

Di sekeliling gelap gulita. Gambaran pasir luas menghampar yang terekam di otakku melintas. Pemandangan yang hanya pernah kudapat di internet sekarang menjadi nyata. Aku berkendara di atasnya. 

“Di mana Gunung Bromo?” tanyaku.

Misto menunjuk arah kiri. “Tidak kelihatan, masih tertutup kabut.”

Mobil melonjak saat melewati undakan. Kami terguncang. Dari arah belakang, sinar dari lampu mobil belakang berkedip disusul klakson menyalak berkali-kali. 

Aliman memperlambat laju mobil. Menepi ke kiri. Memberi jalan mobil belakang menyalip. Klakson dua kali menyalak saat mobil tepat di samping. Aliman membalas. Jeep di samping berguncang, kemudian menderu keras meninggalkan kami. 

“Siapa?” tanya Misto.

“Gimin,” jawab Aliman.

“Kenapa tergesa?”

“Turis bule. Mereka ingin mendapatkan tempat yang pas untuk mendapat gambar terbaik.”

“Rangga bawa kamera?” tanya Aliman dari belakang kemudi.

Aku menepuk tas ransel. “Bawa. Pakai lensa jarak jauh. Tapi aku nggak bawa tripod.”

“Tidak apa. Itulah gunanya kita berangkat pagi sekali. Agar dapat tempat yang tepat. Semoga cuaca tidak berubah.”

Tiga puluh menit melintas lautan pasir dalam kegelapan, pergerakan jeep berubah naik. Dalam gulita aku menangkap bayang jurang terjal di sebelah kanan, sedang di sebelah kiri lereng batu cadas menghadang. Seperti punya indra ke enam, Aliman lincah menggerakkan kemudi. Seolah mobil otomatis yang dikontrol robot, setiap mendekati tikungan tajam, dia mengubah arah kemudinya tepat waktu. Sedikit salah perhitungan, nyawa akan dipertaruhkan. 

“Turis asing juga banyak yang datang?” 

Pertanyaan bodohku membelah keheningan. Tentu saja tempat ini sudah sangat terkenal di Manca Negara.

“Banyak. Hampir semua warga negara asing pernah ke sini. Daya tarik tempat ini menimbulkan suasana magis. Bukan hanya sekali, mereka bisa berkunjung dua-tiga kali. Selalu ada yang beda dalam setiap kunjungan.” Dada Misto mengembang bangga saat menjelaskan. 

Mobil naik melambat. Di depan, beberapa mobil menunggu giliran menepi. 

“Kenapa padat sekali?” tanyaku.

 “Menurut informasi BMKG, cuaca hari ini cerah sekali,” jawab Aliman.

 Jeep bergerak lirih. 

“Kita hanya sampai di sini. Selanjutnya harus jalan kaki.” 

Misto memberi isyaratkan untuk bersiap. 

Aliman menghentikan mobilnya di tempat yang tak jelas bagiku. Larik sinar mobil berbaur dengan sinar senter. Hawa beku menerpa. Jaket tebal musim dingin beserta syal dan sarung tangan yang kupinjam dari Pak Manaf melindungi tubuhku. Hanya wajahku yang tersisa tanpa penutup. Bibirku membeku. Untunglah cambang yang belum kucukur melindungi. 

Bau sangit rem terbakar dan gesekan ban semburat. Menyengat. Seperti berdiri di pantai saat malam hari tanpa penerangan, laiknya gelombang menggulung dari kanan-kiri-belakang, ratusan wisatawan bergerak naik. Jalanan macet penuh manusia. Tidak ada petunjuk yang mengarahkan. 

Layaknya zombie dalam film walking dead, kami berjalan beriringan ke satu titik, kemudian naik ke atas menuju puncak penanjakan. Beragam bahasa asing seliweran menerpa telinga.

“Gila. Dingin sekali,” gerutu Misto. 

Tubuh Misto menggigil. Giginya gemeletuk menahan dingin. Jaket dibalut kain sarung yang membalut seluruh tubuhnya tak sanggup menahan terkaman angin.  

 “Kamu mulai lembek, Bro. Tubuhmu sudah terbiasa dengan panasnya pantai Pulau Bali. Kau sudah melupakan hawa pegunungan yang membesarkanmu,” ejek Aliman.

Tanpa mempedulikan olok Aliman, Misto bergerak menaiki tangga. Satu demi satu kami menapak tangga batu. Perjalanan naik melambat. Uap hangat diselingi tarikan nafas berat keluar dari pendaki serasa kuda dipenuhi beban. 

Pukul empat dini hari, sebagian besar pelancong sudah memadati puncak penanjakan. Aliman bergerak lincah menyibak kerumunan tubuh tinggi besar para bule. Aku mengikutinya dari belakang. Di sebuah tempat tepat di pinggir pagar pembatas, kami berdiam diri menunggu Sang Surya memancarkan ufuknya. 

Lihat selengkapnya