Malam setelah Aliman turun dari Masjid, aku menunggunya di teras rumah. Pisang goreng sepiring penuh, kopi dan teh hangat mengepul buatan Bu Aminah, siap menemani. Pukul sepuluh lima belas menit sosok yang kutunggu itu muncul. Pisang sepiring sudah habis sejak tadi. Cerek berganti baru. Beberapa kali aku harus ke kamar kecil setelah menghabiskan banyak minum.
Dia mengenyakkan tubuhnya di kursi di depanku. Tangannya langsung menjumput pisang goreng yang sudah dingin. Aku menuangkan teh yang masih baru ke gelas kosong, menyorongkan gelas itu ke arahnya. Sembari mengucap terima kasih dia menyeruput teh hangat hingga habis.
“Maaf membuatmu menunggu. Ada apa?”
Kubetulkan letak dudukku. Keresahan yang sejak lama kupendam semakin membuncah. Pandanganku lekat menatap laki-laki yang duduk di depanku ini. Penerangan dari lampu teras menerpa sosok kami, menghantarkan siluet di lantai. Suara serangga malam menghias. Lamat, terdengar suara Bu Aminah membaca ayat-ayat suci.
Kuhela nafas panjang.
“Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Sejak kakiku menapak di tanah ini, raut tenteram, damai, dari wajah-wajah sepulang berdoa menular padaku. Aku seolah dituntun dari sebuah ketidakpastian hidup pada optimisme yang mencerahkan.”
Aliman diam. Menungguku menyelesaikan curahan hati.
“Apa yang membuat mereka seperti itu? Apa yang membuatmu lebih tenang dan tenteram dalam menghadapi peliknya kehidupan?”
Dia tersenyum menatapku. Temaram lampu memahat wajahnya. Gurat kedamaian terlihat jelas.
“Itu karena kami tidak takut.”
“Takut apa?”
“Kami yakin bahwa dunia ini hanyalah tempat singgah sementara sebelum melanjutkan perjalanan ke dunia lain yang lebih kekal. Penat dan peliknya kehidupan hanyalah cara Tuhan menunjukkan rasa kasih sayangnya.”