Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #27

Bab 27; Anak Remaja


Esok pagi setelah makan sahur, aku kembali berjalan menyusuri lereng bukit di sekitar rumah. Kucari tempat yang tepat untuk mendapatkan Sang Fajar merekah. Memang tidak seindah puncak penanjakan, tapi cukup bagus untuk sekedar melepas rindu akan khayalan bersama Kayla. 

Aliman sejak pagi sudah pamit ke kota. Pemuda itu sedang merintis sebuah organisasi nir laba dalam bidang keagamaan dengan teman-temannya di kota terdekat. Mendekati hari raya, dia semakin sibuk mempersiapkan diri. 

Setelah mencuci muka, menggosok gigi dan berganti pakaian, aku sudah siap di depan rumah Misto. Janjiku untuk mengantar Tuti harus kulaksanakan. Thus, sekalian melihat wajah segar Ratna. 

Tuti mengeluarkan motor matic. Dia memintaku untuk menyetir motor itu. Ratna menyusul Misto yang sedari pagi sudah berada di lahan. Waktu untuk menanam bibit. Sebelum ditanam, mulsa plastik harus dilubangi dulu sedangkan tenaga berdua saja akan kurang. Setelah selesai dengan Tuti, aku berjanji akan segera meluncur ke lahan. 

Jarak dari rumah ke sekolah Tuti tidak terlalu jauh. Butuh lima belas menit untuk mengantar gadis itu, tapi butuh satu setengah jam untuk melayani permintaan teman-temannya. Bercakap, bercanda cekikikan ala remaja, diakhiri foto bersama. 

Semalam tanpa kusadari, Tuti diam-diam mengambil beberapa fotoku. Dengan kemampuan editing, dia menyandingkan fotoku dengan foto Hyun Bin. Seperti artis dadakan aku dikerumuni lautan remaja. Saat perjalanan pulang kujewer telinga Tuti. Gadis itu terbahak manja. 

Seolah tidak ingin melepasku, Tuti meminta untuk diantar ke tempat berikutnya. Dia ingin membeli baju baru untuk lebaran. Jadilah aku keluar masuk pasar baju. Sabar menunggu dia memilih, memberi komentar mana warna yang cocok, mana style yang bagus untuk tubuh bongsornya.

Tuti menolak keras saat aku ingin membayar pakaiannya. Berkali aku membujuknya. Dia tetap pada pendiriannya. 

“Kak Misto pasti marah kalau tahu aku dibayari laki-laki lain.”

“Aku kan bukan orang lain, sudah seperti kakak bagimu. Aku juga nggak akan bilang Misto”

Tuti menjulurkan lidahnya. “Nggak ah. Kak Rangga masih orang lain, kecuali … kalau suatu hari nanti jadi bagian dari keluarga kami.”

Hatiku tersentak. 

Setelah dari pasar baju kami langsung menuju lahan. Matahari sudah beranjak tepat di atas kepala. Sinarnya menjamah seluruh permukaan lereng, tapi panasnya tertahan cuaca dingin. 

Perjalanan memakan waktu tiga puluh menit dari kota. Mendaki, menurun, mendaki lagi hingga motor matic yang kami tumpangi terbatuk menahan beban. 

Tuti semakin lengket. Tangannya melingkar erat di pinggangku. 

“Kamu tidak takut pacarmu cemburu melihatmu duduk seperti ini?” tanyaku sambil mata tetap fokus ke jalan.

“Biarin. Kalau cemburu ya diputus. Masih banyak cowok lain yang ngantri.”

Bahuku terguncang menahan tawa. Stang motor sedikit oleng. Aku masih ingin menggodanya. 

“Kalau Tuti sudah punya pacar, kenapa duduk mepet gini ke Kakak?”  

“Kapan lagi bisa dibonceng Hyun Bin!” teriaknya dari sadel belakang. 

Jalan curam menurun membuatku menyudahi kelakarku. 

Lihat selengkapnya