Hari-hari meluncur cepat bak anak panah melesat dari busurnya. Hari puasa telah berlalu diikuti hari raya. Aku semakin terlelap dalam kehidupan di lereng Gunung Bromo.
Sejak pagi hingga lepas Maghrib, Aliman tidak tampak sosoknya. Dia semakin susah didapat kecuali di malam hari. Seolah guru tetap yang mempunyai kewajiban membimbing muridnya, dia datang selepas Maghrib. Mengajariku dengan sungguh-sungguh, kemudian pergi lagi entah ke mana.
Agenda pagi hingga sore bertambah. Misto mengajariku menyetir jeep gardan empat yang dipinjam dari pak Manaf. Dia menyuruhku membelah lautan pasir, kemudian naik mendaki jalan tajam menuju puncak penanjakan. Tangan dan kakiku gemetar saat tikungan tajam di depan mata.
Ratna dan Tuti mengekor di belakang saat Pak Manaf mengajariku naik kuda.
Kuda Pak Manaf paling terawat di antara kuda-kuda lainnya. Kuda itu tinggi besar, sehat, berbeda jauh dengan kuda pemilik lain yang ringkih dan kurus.
Bukan hal mudah menundukkan kuda asli pulau Bima itu. Beberapa kali tubuhku hampir terlempar saat menaikinya. Membutuhkan pijakan yang kokoh untuk bisa duduk anggun di tubuh binatang berkaki empat ini. Surainya yang panjang menghantam mukaku berkali-kali, melecut bibir dan keningku hingga menimbulkan bekas pada kulit wajahku yang putih.
Ratna dan Tuti terkekeh melihat kakiku menggigil kecapian.
Hari terakhir sebelum kepergianku, Ratna dan Tuti tak pernah lepas dari sisiku. Aku yakin Tuti hanya menganggapku sebagai kakak tampan yang baru dimilikinya. Entah dengan Ratna.
Aku merasakan getar kebahagiaan saat berada di dekatnya. Yang membuatku sangsi, apakah getar itu hanya refleksi hati karena dia serupa dengan Kayla? Kalau pun aku menempatkan cintaku yang kembali bersemi, aku ingin menempatkannya pada Ratna seutuhnya. Bukan Ratna sebagai bayangan Kayla.
Malam harinya, Aliman menatapku tak seperti biasanya.
“Sebelumnya aku mohon maaf bila bertanya tentang masalah pribadi. Kalau kamu tak ingin menjawabnya, aku pun tak akan memaksa.”
“Kita bersaudara. Kamu bebas bertanya apa pun tentang aku. Kalau sanggup, aku akan menjawabnya dengan jujur."
Dia berpikir sejenak. Kemudian menghela nafas berat. “Bagaimana hubunganmu dengan Ratna?"
Aku menghela nafas. “Ratna gadis yang menarik. Aku suka dengannya."
“Hanya itu?"
Aku diam sejenak. Entah bagaimana menjelaskan rasa ini.
“Untuk saat ini, ya. Aku masih sangsi tentang perasaanku yang sesungguhnya pada Ratna.”
Sebelum Aliman membebaniku dengan pertanyaan lanjutan, aku menyela, “Kenapa kamu bertanya tentang itu?"
Pandangan laki-laki muda di hadapanku ini menerawang ke depan.
Jalan setapak di depan rumah sepi. Kelopak ngengat memberi suara indah di tengah keheningan malam. Lamat, suara ringkikan kuda milik Pak Manaf menyela.
“Aku, Ratna, dan Misto tumbuh bersama. Sejak kecil aku mengenal adik Misto itu. Mengenal betul sifatnya. Kepandaian, kegigihannya dalam meraih cita-cita, sekaligus keras kepalanya.
Seiring berjalan waktu, pada satu ketika, rasaku sebagai teman berubah menjadi rasa cinta antara pria terhadap wanita. Aku berharap suatu hari dia bisa menjadi pendampingku, menjadi ibu dari anak-anakku. Aku berusaha mendekatinya. Suatu hari kuberanikan diri melamarnya.”
Aliman diam sejenak. Dia sedang berusaha mengumpulkan keberanian bercerita.
“Namun, Ratna tidak punya rasa yang sama. Dia hanya menganggapku sebagai teman, sebagai kakak. Tak lebih. Cinta tak bisa dipaksa. Aku menerima keputusannya dengan besar hati."
Aliman mengerjap. Gerahamnya terkatup rapat. Dia sedang berusaha menahan luka yang pernah diembannya. Kini luka itu terlihat berdarah lagi. Aku tahu rasa itu. Sangat menyakitkan.
Hela nafas berat keluar dari hidungnya pemuda ini.
“Aku sudah berusaha melupakan penolakan itu, berusaha menjauh, menjaga jarak. Tapi, melihat dia memandangmu, melihat bagaimana gerak-geriknya saat di dekatmu, harus kuakui aku cemburu. Aku yakin gadis itu mencintaimu.”
Ada rasa kalah dari nadanya yang melemah.
Aku tidak tahu harus bagaimana bersikap. Jalan yang paling baik adalah menunggu dia menyelesaikan ungkapan hatinya.
“Bagiku, penolakan adalah hal yang wajar dalam sebuah hubungan. Aku bisa menerima walau itu sakit. Yang sulit kuterima adalah melihat Ratna terluka! Melihat dia merasakan sakit akan cinta yang tak bersambut. Aku memohon padamu, jangan sia-siakan dia, jangan buat dia merana....”
Kalimat terakhir yang meluncur dari bibir Aliman nyaris tak terdengar. Harapan yang ditimpakannya padaku tak sanggup kutahan.
Aku belum yakin akan rasaku pada gadis itu. Mudah untuk mengatakan cinta, tapi sulit untuk memupuknya jika rasa itu hanya sebuah pelarian dari cinta lain.