Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #32

Bab 32: Pengobatan


 Gedung warna putih krim rumah sakit itu menjulang tinggi di antara gedung-gedung lain. Tulisan mencolok di lantai lima membagi gedung itu menjadi dua bagian. Mobil pengantar pasien berlomba dengan ambulans memasuki halaman parkir. Laki-laki dan wanita dalam balutan kemeja putih dokter dan perawat berjalan cepat. 

Untuk sebuah gedung megah di tengah kota, Jakarta Medical Hospital merupakan bangunan megah, canggih,dan sangat sibuk. Sebuah pemandangan yang kontras dibanding penghuni gedungnya. Wajah muram di sela sengguk tangis mengubah wajah gedung menjadi muram. 

Sesaat setelah roda pesawat mendarat di Bandara, ambulans beserta petugas medis sudah siap menunggu. Kami menemani Hana di ruang belakang ambulans hingga rumah sakit yang dituju. Dokter laki-laki ramah menyambut. Tanpa mengabaikan waktu lagi, Hana masuk dalam ruang observasi. Peralatan medis paling modern tersambung ke badannya. Selang infus tersambung dengan berbagai mesin. Jarum menancap erat ke pergelangan tangan bidadariku. Angka-angka di layar monitor penunjuk detak jantung, tekanan darah, jumlah cairan, berkedip tanpa lelah. 

Menempati kamar tersendiri semua yang serba asing bagi anak berusia lima tahun itu membuatnya menangis ketakutan. Kutenangkan gadis kecilku. Kuberi dia semangat. 

Setelah menjalani observasi awal Hana dipindah ke kamar khusus. Di malam hari, hanya salah seorang dari kami yang diizinkan menunggu. Aku dan Ratna bergantian menjaga Hana. Esoknya setelah aku dan Ratna menjalani serangkaian tes untuk menentukan apakah sel darah kami sesuai dengan sel darah Hana, aku mencari kontrakan sangat sederhana di dekat rumah sakit. 

Malam berganti, yang kami tunggu tiba. Hasil tes membuat kami tersedak. Dokter Rudi diam tepekur. Kertas hasil uji laboratorium sel darah kami di tangannya. Sesekali Dokter sekira lima puluh tahunan itu membaca hasil tes HLA anakku, kemudian beranjak mengarahkan tatapannya pada kami berdua. Dia membetulkan letak kaca mata yang tidak bertengger tepat di hidungnya. 

“Berdasarkan hasil tes HLA, sel induk Anda dan Istri tidak cocok dengan sel induk Hana.”

Kami terpaku. Ratna meremas jemariku. Tanganku gemetar merespon remasannya. Kami sudah mengumpulkan informasi sebanyaknya tentang transplantasi sumsum tulang dan cara pelaksanaannya. Hana memerlukan donor untuk keberhasilan transplantasi. Donor terbaik adalah anggota keluarga. 

Pada permukaan sel-sel darah putih terdapat HLA yang merupakan protein untuk membedakan sel milik donor dan sel milik pasien. Diperlukan tes HLA untuk membedakan sistem kekebalan tubuh. 

“Tidak adakah donor yang saat ini mempunyai HLA yang mirip dengan HLA anak saya?” tanyaku

Dokter Rudi menggeleng. “Kami sudah memeriksa donor yang saat ini terdaftar. Masih belum ada.”

“Apa tindakan medis selanjutnya?” lanjutku.

“Sambil menunggu donor dengan HLA yang mirip, kami hanya bisa menjalankan protokol kemoterapi. Tapi….” Dia tidak meneruskan kalimatnya.

“Apa yang terjadi, Dok?”

“Sel jahat leukemia sudah menjalar ke semua bagian organ anak Anda. Tanpa transplantasi kami takut tidak bisa menyelamatkannya. Kemoterapi hanya sanggup memperlambat saja. Tidak menyembuhkannya.” 

 “Pasti ada cara lain. Please ... tolong Dokter, selamatkan anak kami. Pasti ada cara lain….” 

Istriku menghibah. Merengek layaknya anak kecil. Aku menekan punggung tangan Ratna yang ada dalam genggamanku. Memberinya kekuatan untuk tabah.  

“Kami akan terus berusaha. Saat ini hanya kemoterapi sambil menunggu donor yang tepat,” tegasnya. 

Lihat selengkapnya