Langkahku gontai mendekati rumah panti jompo itu. Hawa dingin pegunungan di akhir bulan November menggigit. Kancing jaket kurekatkan. Tubuhku yang kehilangan berat dalam tiga bulan terakhir membuat gigitan hawa dingin itu serasa menyelusup langsung ke tulang.
Berjarak tidak lebih dari dua jam perjalanan dengan kereta, alamat panti jompo yang kudapat dari Deny sudah di depan mata. Gedung tiga lantai berwarna coklat di daerah puncak itu sangat sederhana untuk ukuran mantan Presiden Direktur sebuah perusahaan besar. Tidak ada pemandangan indah sebuah taman di tengahnya air mancur berputar, tidak ada pepohonan rindang dan sebuah hutan kecil yang sengaja ditata indah untuk tempat bercengkerama, tidak pula lalu-lalang perawat mendorong pasien tua di atas kursi roda.
Panti jompo ini lebih tepat disebut apartemen murah untuk karyawan dengan gaji pas-pasan. Tidak banyak fasilitas yang bisa ditemukan di sini. Kekayaan dan gaya hidup papa saat berkuasa berbanding terbalik dengan cara dia menghabiskan masa tuanya.
Perempuan muda dengan celemek dan pakaian seragam merah muda menyambut. Kancing jaket tipis yang dikenakannya dibiarkan terbuka di bagian depan. “Reni” nama yang tertera di seragam celemeknya. Wajahnya ramah walau terlihat kelelahan. Rambut belakangnya diikat simpul ekor kuda. Poni di dahinya bergerak turun naik saat memberi salam.
Aku mengenalkan diri dan menyampaikan niatku. Dia terlihat gugup mengetahui aku berkunjung ke salah satu kliennya tiba-tiba. Reni memintaku menunggu di ruang serba guna. Tidak ada meja resepsionis layaknya panti jompo mewah. Hanya sebuah ruang tempat berkumpul yang masih sepi, menjorok ke dalam bersinggungan dengan ruang lain. Ruang ini cukup menampung dua puluh orang tua dengan meja dan kursi berderet berhadapan. Sebuah televisi menyala menyiarkan berita.
“Tuan Maheswara siap menerima Anda,” kata Reni membuyarkan lamunanku. “Ikuti saya,” lanjutnya.
Detak jantungku bergerak cepat. Perpisahan terakhir dengan papa tujuh tahun lalu membayang di pelupuk mata. Pertemuan terakhir yang menyakitkan. Walau sakit itu saat ini sudah mengendap bersama lautan pasir Gunung Bromo, tetapi bekasnya masih mengental di pembuluh darah.
Setapak demi setapak kakiku menyusuri anak tangga naik ke lantai dua. Reni berjalan cepat tanpa banyak kata. Tujuh tahun berlalu tanpa kabar sepotong pun. Bayang wajah terakhir papa saat menandatangani dokumen pemecatan diriku terekam jelas di benakku. Saat itu hatiku diliputi kemarahan. Keterasingan yang akut. Membiarkan satu anaknya terbuang dengan memberi kekuasaan penuh pada anak lainnya membuat dendam membara di hatiku meledak tak karuan. Orang tua macam apa yang sanggup membedakan kasih dua anak kandungnya?
Kini, semua rasa marah dan dendam itu sirna. Keindahan gunung Bromo beserta kenangan manis yang telah kureguk mengeliminir semua rasa pedih itu. Mengecap pengalaman sebagai orang tua saat ini mengajarkanku banyak cinta kasih. Entah apa yang mendasari orang tua yang berperan melahirkanku ke dunia itu mengambil tindakan seperti itu. Aku yakin papa pasti punya alasan yang kuat membiarkanku merana sendiri.
Ketukan di pintu dibalas sapaan berat dari dalam. Pintu bertulis nomor kamar dan penghuninya membuat jantungku berdetak mengencang.
“Silakan.” Reni membuka pintu berbahan kayu laminasi.
Di depanku, sesosok pria berambut putih terbalut kardigan krem duduk di kursi roda menghadap jendela. Korden tersibak seluruhnya dari jendela, menampilkan pemandangan berpuluh pohon menghiasi bukit. Pohon-pohon itu berdiri tegak. Rantingnya menjorok ke segala penjuru.
Kuberanikan diri melangkah melewati batas pintu luar. Reni menutup pintu, meninggalkan ruangan sepi dihuni sosok anak dan orang tua.
Keheningan mencekam tanpa kata. Tempat tidur single berseprai putih, di atasnya terdapat bantal dan selimut tertata rapi. Di sudut ruangan, lampu baca bertengger di atas meja. Sebuah kursi kayu bernuansa klasik sandaran tinggi ikut menemani. Ruang seluas sekira delapan belas meter persegi itu terkesan sangat sederhana untuk seorang mantan Presiden Direktur.
“Ehm, ehm.” Kulonggarkan tenggorokanku membuka sapa. “Papa, Aku Rangga,” salamku.
Alih-alih membalas, tangan kanan orang tua itu terangkat. Memberi isyarat padaku untuk mendekat. Sandal milik panti yang kukenakan terasa melekat di lantai kayu. Aku berdiri di belakang kursi rodanya. Kharisma orang tua ini masih kuat. Pada masanya, dia adalah penentu kehidupanku.
“Kau lihat pohon-pohon itu.” Tanpa menoleh ke arahku tangan tua itu menunjuk ke jendela luar. Suara beratnya masih sama seperti dulu.
Mataku tak berkedip menatap pemandangan yang dituju. Tanpa menunggu komentar balasanku, dia menyusulkan kalimat berikutnya.
“Pohon-pohon itu meranggas. Semua daunnya berguguran. Kalau pun ada yang tersisa, hujan dan angin akan meruntuhkannya. Itulah yang kurasakan saat tangan ini menggoreskan pena, kala stempelku memutus hubungan kita. Ketika itu, isi kepalaku hanya dipenuhi kekuasaan dan nama besar. Untuk semua itu aku harus membayar mahal. Kehilangan darah dagingku, kehilangan anakku....”
Nada suara berat papa berubah serak dilingkupi kegetiran dan penyesalan.