Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #34

Bab 34; Di Tepi Jurang


Sukamdani, pemilik restoran ala Amerika, menerimaku bekerja tanpa syarat. Ketika papa berjaya dengan bisnisnya, dia sering membawa tamu-tamunya makan malam di tempat ini. Bahkan saat Sukamdani ingin mengembangkan tempatnya, dia meminta bantuan pinjaman pada papa. Tanpa bunga, tanpa agunan. Restoran mewah yang sekarang menghuni lantai dua puluh lima sebuah gedung megah itu dulu hanyalah sebuah kedai kecil di pinggir jalan. 

Aku bersyukur dan menerima dengan senang hati pekerjaan yang ditawarkan. Bekerja di malam hari dengan waktu yang relatif tidak panjang, bebas meminta ijin jika anak dan istriku membutuhkan pertolongan tanpa pemotongan gaji, membuat pekerjaan sementara ini adalah anugerah Tuhan yang terbaik setelah bulan-bulan penuh cobaan.

Setelah beberapa minggu bekerja, berbekal kemampuan Bahasa Inggrisku yang selama ini terasah di Bali, ditambah penampilanku yang lebih dandy dibanding pelayan lain, Sukamdani menempatkanku menjadi pelayan pilihan terbaik saat menjamu tamu penting. Dari pejabat hingga ibu-ibu yang sekedar arisan berkali memuji pelayananku. Ratusan uang tip menambah pundi-pundi tabunganku. Tentu saja Pak Sukamdani semakin suka. Mungkin dia berharap aku menghabiskan umur di restorannya. 

Waktu berjalan cepat saat bekerja, namun berjalan sangat lambat kala menemui kenyataan akan kesehatan Hana yang semakin menurun. Berbulan-bulan berkutat dengan segala macam obat kemoterapi dan pengobatan yang menyiksa, kesehatan Hana tak kunjung membaik. Sebaliknya, hari demi hari hanya dipenuhi keluhan yang mencekik. Tubuh anakku semakin kurus. Semua bulu yang ada di kulitnya tidak tersisa selembar pun. Wajahnya sepucat kapas. Sorot matanya terlihat putus asa.

Setiap sore sebelum meninggalkan Hana untuk bekerja, aku dan Ratna bergantian memberi semangat Hana untuk bertahan, sekaligus memberi semangat pada diri kami masing-masing untuk tidak menyerah. Tak tega hati ini melihat si buah hati menderita sendiri. Kalaulah Tuhan mengizinkan, biarlah kami yang menggantikan sakit itu.

Seminggu yang lalu Papa berkunjung ke rumah sakit. Dengan tertatih dan memohon bantuan petugas panti, untuk pertama kali papa melihat Hana dari luar ruang observasi. Kesehatan Hana yang semakin memburuk membuat dokter tidak mengizinkan kakek yang belum pernah bertemu cucunya itu bertegur sapa. 

Papa melambaikan tangannya dari luar. Kuterangkan siapa kakek tua yang datang itu. Seolah terpompa kekuatan baru Hana tersenyum melambaikan tangan mungilnya. Kemudian lesu, lemah, kembali bergulat dengan sel jahanam yang menggerogoti tubuhnya. 

Papa memaksa ikut tes HLA. Semula dokter menolak dengan alasan kesehatan papa yang tak mendukung. Tapi, papa memaksa. Hasilnya: tidak ada kecocokan sel induk. Untuk ke sekian kali kami harus berkutat lagi dengan harapan yang tidak pasti. Donor yang diharapkan belum juga bisa ditemukan. 

Sore itu Dokter Rudi kembali memanggil kami. Secercah harapan timbul. Langkah kaki kami saat menyusuri lorong rumah sakit berbareng dengan doa. Semoga panggilan kali ini adalah kabar adanya donor yang cocok. 

Tanganku bergetar saat mengetuk pintu. Gagang kunci yang terbuat dari metal meresap dingin. Dokter Rudi berdiri menyambut. Dia menyalami kami. Doa yang kami panjatkan menguap saat melihat wajah itu penuh keprihatinan. 

Seperti kebiasaannya saat menerangkan hal berat pada keluarga pasien, dokter itu membetulkan letak kaca matanya terlebih dahulu. Dia menahan desah nafas, kemudian mengembuskan keras bersama tekanan di dadanya. 

“Mohon maaf. Kami sudah berusaha keras. Tapi, sel jahat leukemia yang terdapat dalam tubuh Hana lebih kuat dari pengobatan yang telah kami lakukan. Tanpa ada donor yang tepat, dia tidak bisa bertahan lama,” katanya lemah. 

Kalimat penutupnya terasa kekalahan telak bagi seorang dokter. 

Lihat selengkapnya