Kenangan masa lalu berkelebat. Melintas cepat berganti-ganti. Kerinduan yang pernah singgah di mimpi-mimpiku kembali membekap atas nama masa lalu.
Aku mencoba tersenyum. Kayla tidak menanggapi. Wajahnya beku setara salju. Hati kecilku mengagumi penampilannya. Tidak banyak berubah setelah tujuh tahun. Masih semuda saat pertemuan kami dulu. Yang berbeda, saat ini wajahnya terpoles make up tebal.
Kucoba tersenyum. Namun sorot mata Kayla menakutkan saat melirikku. Dendam yang belum terbayar tersirat jelas.
“What do you wanna eat, Babe?” tanya teman prianya.
“It’s up to you, darlink,” erang Kayla manja seolah memamerkan kemesraannya padaku.
Sejenak bayang Ratna dan anakku yang sedang bertaruh nyawa lenyap bersama kemesraan mereka. Di relung hatiku yang paling dalam, ada gejolak hangat yang membakar. Tak bisa kupungkiri aku cemburu. Setelah tujuh tahun berpisah, sisa-sisa cintaku belum hilang sempurna.
Pemuda asing itu memilihkan masakan untuk Kayla. Aku menulis pesanannya. Pensil di tanganku menggurat kertas, membentuk huruf-huruf yang tak beraturan.
“Ok, First, give me red wine bourbon,” pinta Kayla.
Aku mengangguk. Pria asing itu memintaku mengulang apa yang dipesannya. Suaraku menghilang entah kemana. Peraturan yang mengharuskan pelayan mengulang pesanan masakan tak mampu kusebutkan. Bule itu mendengus kesal.
Tangan kanan Kayla meremas tangan pendampingnya sementara tangan kirinya memberi isyarat mengusirku. Lamat dia berbisik ke arah kekasihnya. Masih jelas kutangkap kalimatnya. “He’s stupid.”
Lelaki itu tergelak. Hatiku meradang. Kutinggalkan mereka dengan geram. Bayangan anak dan istriku kembali merayap. Kukutuki diri karena membiarkan kenangan masa lalu menggantikan cinta kami. Kayla yang dulu telah mati. Wanita yang hadir malam ini hanyalah tamu sombong sok kaya.
Kuminta Sukamdani menggantikanku dengan Kusuma. Dia bertanya alasan keenggananku melayani mereka. Aku tak punya alasan pasti. Pemilik restoran itu menolak keinginanku. Permintaan tamu sudah jelas; memintaku untuk melayani. Tamu adalah raja. Titah sang raja harus dilaksanakan.
Tanpa banyak perdebatan aku kembali mendekati keduanya dengan sebotol red wine bourbon dan dua gelas kosong. Aku berdiri di antara mereka. Keduanya cekikikan melihatku kikuk meletakkan botol dan dua gelas. Pria bule itu memintaku menuangkan isi botol ke dalam gelasnya, kemudian menyuruhku menuangkan ke gelas Kayla. Tanganku sedikit gemetar saat mengangkat botol.
Di tengah red wine meluncur mengisi gelas, sebuah tendangan keras menerpa tulang keringku. Tanpa bisa kutahan aku mengaduh. Rasa sakit yang menyengat tiba-tiba membuat arah mulut botol berubah haluan. Separuh isinya tumpah di meja, selebihnya mengenai gaun Kayla. Cairan warna merah itu meluncur membasahi tas hermes yang tergeletak di meja, terus merembet memerahkan sepatu yang tadi mampir di tulang keringku.
Keduanya berdiri bertolak pinggang. Aku menunduk dalam-dalam sambil memegangi botol yang isinya tinggal separuh.
“Fuck you! Stupid bastard!” teriak si bule. Jari tengahnya menunjuk tepat ke mukaku.
Dalam sikap ketertundukan kuucapkan permintaan maaf berkali-kali. Tidak ada mata yang menjadi saksi sepakan sepatu itu di tulang keringku. Tanpa saksi, aku hanyalah seorang tertuduh tanpa pembelaan.
Semua mata mengalihkan pandangannya ke arah kami. Si bule terus mengeluarkan sumpah serapah kotor. Segala sampah dan binatang dalam bahasa Inggris meluncur dari mulutnya. Sangat tak cocok dengan restoran mewah tempat dia memilih makan malamnya.
Kayla mendelik. Bibirnya ditarik lebar penuh senyum hinaan. Melihat aku dimaki-maki, kepuasan terlihat mencolok di senyum itu.
Sukamdani dan Kusuma berlari tergopoh mendekati kami. Di tangannya serbet dan tisu. Sukamdani menundukkan tubuhnya dalam-dalam. Berpuluh kali permintaan maaf meluncur dari bibirnya.
Wanita penendang tulang keringku itu berkacak pinggang sambil mendelik ke Sukamdani. Wajahnya memerah. Matanya yang dulu sanggup meluluhkanku itu mendelik. Di sebelahnya, si bule ikut-ikutan berlagak sok kuasa.
“Kau tahu berapa harga gaun ini? Tas? Sepatu? Jam tangan?” bentak Kayla.
Majikanku hanya menunduk. Dari bibirnya meluncur berkali-kali kalimat permintaan maaf.
Kayla melanjutkan gempurannya, “Satu milyar lebih! Aku akan menuntutmu!”
“Maafkan kami, Nona. Pelayan bodoh ini akan kupecat. Tolong ... jangan perpanjang masalah ini,” katanya terbata.
“Enak saja katamu! Mau kau pecat atau kau perkerjakan itu bukan urusanku! Karena kebodohanmu memilih pelayan tolollah kau harus menanggung semua ini!”
“Tolong, Nona ... maafkan kami,” rengeknya.
Band pengiring berhenti memainkan alat musiknya. Para pelayan lain terlihat kikuk. Semua tamu memandang ke tempat kami, saling berbisik sambil mendengungkan gerutukan. Entah pihak siapa yang mereka bela.
“Tidak ada maaf bagi kalian! Kecuali....” Kalimat Kayla tertahan di udara.
Sukamdani menyambarnya cepat. Laki-laki seusia papa itu melihat sepercik harapan.
“Kecuali apa Nona? Kami akan mengerjakan semua perintah Nona asal jangan diperpanjang masalah ini.”
Sukamdani menjatuhkan tubuhnya bersimpuh di bawah kaki Kayla. Tangannya menarikku dan Kusuma untuk mengikuti gerakannya.