Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #36

Bab 36: Kasih Tuhan

Hari ini adalah pertemuan pertama kami. Tidak mungkin dia tahu secepat itu tentang keadaanku. Wanita yang duduk di sampingku tertawa sengau penuh kemenangan.

“Satu minggu yang lalu temanku memberitahu kalau ia bertemu denganmu di restoran itu. Aku penasaran. Kucari informasi tentang keberadaanmu. Tidak terlalu sulit. Kau telah menikah, dan saat ini anakmu sedang sekarat di rumah sakit.

Jantungku serasa dipukul palu mendengar setiap kalimat yang meluncur dari bibir Kayla. “Jadi ... peristiwa di restoran tadi?”

Kayla tergelak. 

“Ya. Aku hanya ingin menghukummu. Seperti kataku tadi, sepakan dan jilatan di sepatuku adalah hukuman yang layak untukmu.”

Aku menggeram. “Puas?”

“Belum. Masih ada lagi,” kata Kayla dingin.

Detak nadiku berubah cepat. “Apa lagi?”

“Aku akan menjelaskannya di sana.” 

Dia menunjuk tempat yang tak asing lagi bagiku. Mobil berhenti tepat di depan pintu pub yang sepi. Hanya ada dua-tiga pasang laki-laki dan wanita masuk ke dalamnya. 

Pub “Surge” tidak seperti tujuh tahun yang lalu. Saat itu di akhir pekan seperti ini, pada jam di atas sepuluh malam, gelombang manusia berpasangan akan membanjiri tempat ini. Suara hiruk pikuk gebukan drum beserta cuitan sound system meluber ke halaman.  

Tidak seperti tujuh tahun yang lalu, bukan dentuman live music yang menyambut. Hanya alunan musik klasik lirih dari sebuah recorder yang disambungkan dengan speaker yang menggantung di setiap sudut.

Meja kursi, counterbar masih sama seperti yang dulu. Hanya saja dekorasi dindingnya kini mengelupas tanpa perbaikan. Sejumput kesedihan merayap. Pub kebanggaanku ini sedang sekarat tergerus perubahan jaman.

Seperti di rumah sendiri, Kayla melangkah mantap.

Dua petugas pembuka pintu mempersilahkan kami masuk. Kayla melenggang bebas. Aku menyusulnya dari belakang. Kami melangkah menuju counter bar.

Pemiliknya masih tetap sama. Yang berbeda, ia terlihat menua. Rambut kuncir kudanya memutih. Kaca mata minus tebal bertengger di hidungnya.

Lelaki pemilik bar yang sudah dimakan usia itu memicingkan mata menyambut kami.

“Selamat malam Nona Kayla.”

Kayla membalas salamnya.

Mata keriput itu terbelalak mendapati siapa pengunjung yang berjalan bersama Kayla.

“Rangga?! Lama tak jumpa!”

Kuanggukkan kepala, kuberi dia senyum terbaik yang kupunya.

Senyumku berbalas tawa terbuka. “Silakan! Seperti jaman dulu? Pesta semalam suntuk?”

Aku menggeleng. 

Kayla memesan wine satu botol. Aku meminta diet coke. Pemulik pub menatapku aneh. Tanpa bertanya dia meletakkan minuman yang kami pesan di meja bar.

Wanita yang berjalan di depanku itu meraih botol dan gelasnya. Kubawa sendiri minumanku.

Kami mencari tempat duduk di pojok terpisah dari keramaian. Lampu sorot di atap cukup menerangi tempat duduk yang kami pilih. Kali ini bukan sebuah momen untuk berasyik-masyuk.

“Kau tidak minum?” tanya Kayla.

Dia mengucurkan sendiri anggur dari botolnya, menuangkan ke gelas di hadapannya hingga penuh.

“Aku sudah tidak minum-minuman keras lagi sejak menikah.”

“Waow, Rangga tanpa alkohol layaknya ikan tuna di air tawar.”

Tidak kubalas sindirannya.

Kayla mengangkat gelas berisi wine penuh, mengarahkannya ke arahku. Kutetak gelas itu dengan botol diet coke.

“Untuk masa lalu.”

“Ya, untuk masa lalu,” ulangku.

Laiknya minum air putih dia menenggak isi gelas penuh itu hingga habis. Dalam sekali tarikan nafas!

Kusesap manis gula diet minuman bersoda sambil menggelengkan kepala melihat cara dia minum. 

“Huuuh ... nikmat nian. Kau yakin tidak mau?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk tegas meyakinkannya. Sedikit pun tidak ada lagi keinginan untuk membasahi kerongkonganku dengan minuman yang dulu pernah mengakrabi hidupku itu.

Kayla kembali mengisi gelas. Kali ini setengahnya. Dia membuka tas, mengeluarkan rokok dan korek api.

Wanita di hadapanku itu menghisap dan memasukkan seluruh asap ke dalam paru-paru, kemudian menghembuskan keras asap itu seolah menghempaskan beban berat yang menekan hatinya.

“Tidak minum, tidak merokok, pekerja keras. Apakah seperti itu seorang laki-laki jika sudah menikah?”

Tawaku terdengar sumbang bergelut dengan kepulan asap rokok dari bibirnya.

“Tidak juga. Tergantung pribadi masing-masing.”

Kayla kembali menghisap rokoknya, mengepulkan asap yang sebentar ditahan di dada. 

“Kau tahu, pub ini menjadi tempat kunjungan tetapku di saat aku ingin sendiri. Di tempat ini tidak ada orang yang mengenalku. Aku bebas menikmati kesendirianku”

Kuarahkan pandanganku berkeliling.

“Ya. Tempat yang tepat untuk menyendiri.”

Wanita di depanku menyusul kalimatku dalam nada getir.

“Selain itu, aku berharap suatu ketika bisa menemukanmu di tempat ini.” 

Kayla mengangkat gelasnya lagi, menghabiskan wine isi setengah itu, kemudian mengisinya lagi hingga penuh.

Lihat selengkapnya