Kakek Hana itu kegirangan saat kuhubungi lewat telepon genggam. Sejak pertemuan kami, papa memiliki ponsel untuk memantau langsung perkembangan kesehatan cucunya. Kuminta waktu untuk bertemu dan bicara empat mata. Mulanya dia mengusulkan bicara di dalam ruang panti, atau bicara di dalam kamarnya. Berat hati kutolak. Dinding dan semua peralatan bisa menjadi pendengar. Aku tidak ingin mempertaruhkan keselamatan anak dan istriku. Bicara di luar sambil mendorong kursi roda papa di taman adalah pilihan satu-satunya. Papa menyetujui usulku.
Siang hari itu kudorong perlahan kursi roda papa menyusuri pedestrian. Sambil mendorong perlahan kursi rodanya, kuawali percakapan tentang pertanyaan yang selama ini mengusik.
“Kenapa Papa memilih panti jompo sangat sederhana itu sebagai tempat labuhan di masa tua? Dengan tabungan Papa kukira bisa mendapat tempat yang lebih baik. Apakah Rendy yang menghendaki ini?”
Orang tua itu merekatkan jaketnya. Syal membelit leher. Badanku sedikit gemetar saat angin dingin bertiup dari atas bukit. Para pejalan kaki berjalan setengah berlari. Mobil melintas membuang hawa panas dari knalpotnya.
Dahinya melipat. Papa menjawab pertanyaanku dengan panjang lebar.
“Pemilihan panti itu tidak ada hubungannya dengan Rendy. Aku sendiri yang menentukan tempat itu. Setelah pergumulan puluhan tahun dalam dunia yang dihuni manusia-manusia penuh keserakahan, aku memutuskan tempat yang sangat sederhana ini sebagai pelarian dari rasa bersalahku. Mereka, para penghuni panti, bukanlah orang-orang yang berkecukupan saat mudanya. Mereka adalah laki-laki dan perempuan yang menghabiskan masa mudanya dengan mengais rezeki penuh kerja keras. Mereka orang-orang jujur. Manusia-manusia sederhana tanpa berpikir untung rugi dalam hubungan antar manusia. Ya, aku bahagia di sini.”
“Sukurlah.” Rasa malu membelit. Kukutuk diri yang masih terbelenggu penilaian sebuah hubungan antar manusia berlandaskan hitungan untung rugi.
“Bagaimana dengan Rendy? Apakah dia menyetujui pilihan Papa di sini?” lanjutku.
Kali ini papa menghela nafas panjang. Matanya nanar menatap bukit.
“Dia tidak tahu aku di sini. Dua tahun lalu setelah pamit mengundurkan diri dari perusahaan, kuserahkan semua kekuasaanku padanya. Untuk seorang pemimpin perusahaan yang telah berjuang keras membesarkan perusahaan, uang pesangonku layaknya manajer rendahan di sebuah perusahaan kecil.”
“Kenapa Papa menerima?” selaku.
“Setelah kau menghilang Rendy semakin menggila. Harus kuakui, ide-ide awalnya sangat cemerlang untuk membuat PT. Maheswara menggurita. Dia mengeksekusi semua deal-deal bisnis dengan sempurna. Ada masa di mana aku sangat bangga dengan kemampuannya. Sebagai anak tertua, dia sanggup mewarisi kemampuan kakeknya sebagai pendiri, sekaligus kemampuanku sebagai penerus generasi kedua.”
“Beda dengan anak ke dua ya, Pa?” Aku mencoba bercanda.
Papa mendongak ke belakang. Tersenyum melihatku.
“Saat itu aku memang menyesali keberadaanmu yang tak selihai kakakmu. Namun jauh di lubuk hatiku, kau adalah permata terbaik yang pernah kumiliki. Wajahmu, sifatmu, menurun dari wanita yang sangat kucintai. Setelah mamamu meninggal ada masa di mana aku sangat merindukannya. Saat itu, saat kau sudah lelap dan aku baru pulang kerja, aku duduk berjam-jam di sisi tempat tidurmu. Meluapkan rasa rinduku dengan memandangi wajahmu.”
Ada gelombang panas tiba-tiba menerpa mataku. Kalimat pengakuan orang tua yang selama ini kuanggap pilih kasih itu membuatku terharu.
“Maafkan aku. Selama ini aku salah menilai Papa,” desisku.
Kursi roda berjalan pelan. Langkahku semakin tegas membawa orang tuaku satu-satunya ini untuk menjauh dari tempat istirahatnya.
“Semakin tahun, perangai dan cara berbisnis Rendy semakin ngawur. Dia tidak mau lagi menerima masukan dariku. Dua tahun setelah pengambilalihan saham Adnan melalui Rapat Umum Pemegang Saham yang dipaksakan, anak itu mengambil alih tongkat kepemimpinan dariku. Dia memberi tugas baru untukku sebagai penasihat perusahaan. Tapi ironisnya, nasehatku tidak pernah didengarnya.”
Papa tertawa getir. Roda kursi yang kudorong pelan menyusuri aspal. Langkahku menuju taman terdekat yang terlihat sepi.
“Sebagai Presiden Direktur PT. Maheswara Grup yang baru, keserakahan Rendy menjadi-jadi. Lewat penyandang dana yang besar dia menghalalkan segala cara untuk mengakuisisi banyak perusahaan. Tujuanku membesarkan PT. Maheswara agar kehidupan karyawanku lebih sejahtera. Alih-alih dia memotong semua kesejahteraan karyawan. Harapanku semakin menjauh. Ketika segala nasehatku tidak lagi diindahkan, aku berhenti bicara. Kubiarkan dia semaunya mengurus perusahaan. Dua tahun lalu, saat dia semakin melenceng mengendalikan roda perusahaan, kuputuskan mengundurkan diri. Tanpa omong kosong rayuan agar aku tetap mendampinginya, Rendy melepasku dengan kelegaan.”