Anton Wahyudi, laki-laki seumuran papa itu kutemukan di sebuah flat kecil dan pengap di pinggiran kota Jakarta. Mencarinya seperti mengaduk-aduk kota kecil. Tidak banyak orang mengenal lelaki kurus dan bercambang lebat itu. Misal dia mati sekali pun, tidak ada tetangga yang turut berduka.
Kuhabiskan dua hari menunggunya dengan menginap di motel murahan di area dekat tempat tinggalnya. Pekerjaannya tak menentu. Kadang ikut membongkar bangunan, kadang jadi kuli angkut di pelabuhan, kadang bila tidak ada kerja, dia mengais sisa-sisa makanan dari tempat pembuangan mini market.
Dia menatap curiga saat aku menunggunya. Anton mendengus kesal kala kuperkenalkan diri sebagai anak Maheswara. Tanpa peduli tatapannya yang sinis, kuberikan amplop Pemberian papa.
Lelaki bercambang lebat nan lusuh itu membuka amplop pemberian papa. Membacanya dengan saksama. Kemudian tergelak. Bola mata yang terlindung oleh kelopak cekung nanar menatapku lama.
Setelah membaca surat itu dia merobeknya hingga potongan kecil tak terbaca. “Tunggu di sini,” katanya dengan nada berbisik.
Anton menghabiskan tiga puluh menit di dalam kamar. Dia menemuiku kembali dengan surat dalam amplop yang sama.
“Tua bangka itu telah menciptakan monster. Dia telah menggali kuburnya sendiri. Kalau saja aku tak pernah berhutang budi padanya, tak sudi aku terlibat dalam konflik keluargamu. Temui adikku. Dia akan memberitahumu di mana menemukan orang yang dimaksud papamu itu”
Kukira dengan menemukan orang tua aneh itu aku segera bisa menemukan tempat persembunyian Herman. Kubalik amplop itu. Tertulis alamat yang dimaksud. Sebuah tempat asing di daerah kepulauan seribu.
“Banyak pulau di sana. Pulau yang mana?”
Anton mendengus kesal. “Untuk itulah temui adikku!”
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, tanpa berucap salam, lelaki renta itu memasuki pondok kecilnya.
Permasalahan lain timbul. Sebuah mobil wagon biru terus menguntitku.
Menurut ensiklopedia, naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan tertentu yang tidak dipelajari, tetapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup, dan diperoleh secara turun temurun. Instingku adalah instrumen penting dari indra yang kumiliki. Sering menolongku di saat ada kejadian aneh.
Aku tidak paranoid. Dahulu, sensitivitas yang sering kulatih saat mendekati wanita banyak memberi pelajaran tentang keinginan mereka sebelum terucap. Sebuah gerakan tubuh yang tidak sewajarnya, atau situasi yang tidak mendukung akan tertangkap oleh indraku. Naluriku laiknya naluri singa yang sanggup mencium buruannya dari jarak ratusan meter. Naluri seorang penebar pesona.
Hanya saja tujuh tahun lalu, naluri yang kubanggakan itu menjadi tumpul saat patah hati. Cairan alkohol sebagai pelarian akan cinta yang tertolak membuat insting yang kumiliki mati kutu. Untunglah Hawa dingin Gunung Bromo beserta dekap kasih Ratna telah menyembuhkannya.
Sejak meninggalkan panti jompo tempat papa dirawat, instingku mengatakan aku diikuti. Sebuah mobil wagon warna biru, dan tiga orang berjaket kulit turut menguntitku.
Analisaku mengatakan ada tiga kelompok yang ikut serta dalam permainan ini. Kelompok Kayla yang ingin memastikan aku menjalankan perintahnya, kelompok Rendy yang sudah mencium gelagatku, atau pihak kepolisian yang sudah turun dalam penyelidikan. Aku tidak tahu dari kelompok mana para penguntitku itu.
Sebelum aku bergerak menuju ke alamat yang diberi Anton, kupikir alangkah baiknya aku menghilangkan diri dari mereka.
Laiknya cerita novel dan kisah film detektif, perjalanan awal kumulai dari Grogol dengan kendaraan umum. Tiga kali aku berganti kendaraan, ikut berdesakan tak tentu tujuan. Kala tengah hari, kepadatan semakin membeludak. Musim libur membuat penduduk Jakarta dan sekitarnya memenuhi jalan-jalan menuju Muara Angke.
Sebelum berangkat, aku meminta tolong Kusuma, temanku sesama pelayan di Restoran milik Sukamdani, untuk menyiapkan barang-barang yang kubutuhkan: Jaket dan pakaian belel, rambut palsu, kaca mata, dan segala tetek bengek peralatan yang bisa menyembunyikan penampilanku.
Awalnya Kusuma menuntut penjelasan. Kuminta ia percaya padaku tanpa pertanyaan. Setelah kuyakinkan bahwa aku betul-betul belum bisa menjelaskan alasannya, dia menyerah.
Setelah melewati berjam-jam perjalanan penuh ketegangan dan penat, Pelabuhan Muara Angke terlihat. Angin laut beserta bau khasnya menyambut tapak kakiku yang turun dari angkot. Riuh pelancong, nelayan, dan penduduk setempat membuatku bisa membaur di tengah keramaian. Aku yakin untuk sementara waktu telah berhasil menghilang dari penguntitku.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku memutuskan melepas penat semalam di losmen di pinggiran kota sambil mencari tahu letak alamat yang tertulis di amplop. Besok pagi aku akan mengetuk pintu rumah adik perempuan Anton Wahyudi itu.
Setelah makan pagi aku berkemas. Tidak banyak pakaian yang kubawa. Aku sudah mengganti pakaian belel yang kupakai dari Jakarta. Dengan kewaspadaan tinggi kutelusuri perumahan yang terletak di pinggiran Kota itu.
Setelah berjalan dua ratus meter meninggalkan jalan besar aku mendapati sebuah rumah sederhana sesuai yang tertulis di amplop.
Perlahan kutekan bel. Tanpa menunggu lama, perempuan setengah baya menyambut. Wajah asing tidak dikenal yang muncul tiba-tiba membuat mimik muka wanita itu mengandung tatapan curiga. Kuperkenalkan diri. Kuberikan surat yang ditulis kakaknya.
Kelopak matanya mengerjap berkali-kali saat membaca isi surat itu. Ditatapnya berkali-kali penampilanku dari ujung kaki hingga kepala. Setelah merasa yakin bahwa akulah orang yang dimaksud dalam surat itu, wajahnya berubah ramah.
Wanita itu memintaku menunggu. Beberapa menit kemudian ia keluar sambil memberiku secarik kertas bertuliskan alamat dan peta kecil.
“Dia sehari-hari berada di sini. Pak Herman tinggal di pondok kecil di sebuah tempat tersembunyi. Lebih baik Anda berangkat sekarang jika ingin bertemu dengannya.”
Sebelum melakukan perjalanan ke Kepulauan Seribu, aku sudah mencari seluruh data yang terdapat di internet. Lebih dari delapan pulau yang dijadikan tujuan wisata. Namun, pulau yang tertulis di kertas itu tidak kukenali.
“Bagaimana cara ke pulau itu?” tanyaku gamang.
Wanita di hadapanku itu tersenyum ramah. Dia mengarahkan telunjuknya ke pelabuhan. “Anda bisa menyewa kapal nelayan. Tidak terlalu mahal. Bilang saja Anda teman Kustini. Katakan alamat saya. Para nelayan itu akan dengan senang hati mengantar Anda.”
Kuanggukkan kepalaku berkali-kali. “Terima kasih atas informasinya.”
Sebelum tubuhku lenyap dari halaman rumah itu, sang pemilik rumah berteriak, “Bertahun-tahun aku tidak bertemu kakakku. Apakah dia hidup enak di sana?”
Sorot mata itu mengerjap berkali-kali. Dalam pertanyaan itu terhimpun beribu harapan. Tak tega aku harus membagi realitas dengan wanita yang baik itu.
“Ya! Dia hidup sejahtera dan berkecukupan!” jawabku tegas.
***
Cuaca sedang berpihak padaku. Sang Surya tersenyum menyemburkan sinarnya. Ombak tenang hanya menghasilkan guncangan kecil di perahu yang kutumpangi. Nakhoda kapal, seorang nelayan tua dengan tubuh kekar, menyambut dengan baik saat kuminta dia membawa ke pulau yang kumaksud. Tanpa menawar kuiyakan biaya yang diminta. Sebagai gantinya, banyak informasi yang kuberoleh dari nakhoda tua itu tentang pulau yang akan kukunjungi.