Family Bound

Didik Suharsono
Chapter #40

Bab 40: Pengkhianat

“Baik! Baik! Jangan bunuh dia!” Kusentak tangan Rendy menjauh. “Akan kuberikan mini disk itu!”

Tawa keras berhamburan dari bibir Rendy. 

Kebencian akut membuat dadaku serasa meledak. Nafasku memburu. “Tapi berjanjilah untuk tidak membunuh Om Herman! Berjanjilah!”

Dengus kesal bertubi-tubi keluar dari lubang hidung Rendy. 

“Berjanjilah!”

“Baik! Aku berjanji tidak membunuh bajingan tua ini!” teriaknya keras.

Gemetar kukeluarkan mini disk dari dompet beserta kapsul yang terbungkus plastik.  Kuangsurkan mini disk itu ke tangan kiri Rendy yang terulur. “Ini! Bawa barang laknat ini!” 

Sebelum barang itu berpindah tangan, kutarik kembali. Rendy meledak.

“Jangan main-main, Bodoh!” Ujung pistol kembali terarah ke kepala Om Herman.

“Akan kuberikan! Tapi, kabulkan satu permintaanku.”

Ujung jari telunjuk yang siap menarik pelatuk berhenti. “Cepat katakan!”

Kutekan dadaku dengan tangan kiri, “Tiga tahun lalu aku terkena serangan jantung. Kejadian ini membuat jantungku sakit.” 

Kuacungkan kapsul yang sudah lepas dari plastiknya dengan tangan kanan. “Please … beri aku kesempatan menelan obat ini.”

Rendy terbahak. Dia memberi isyarat menyetujui. “Masih takut mati saja sok-sok an kamu!” 

Tidak kupedulikan ejekannya. Kutekan kapsul itu sebelum kutelan. Kulit kapsul sedikit lengket di tenggorokan. Kupaksa ludahku mendorongnya. 

Kalau Rendy bisa menemukanku, aku yakin Kayla atau anak buahnya juga turut menguntitku. Entah apa yang membuat mereka lambat. Dengan menekan kapsul itu aku berharap bisa membantu mereka menemukanku lebih cepat. Untuk itu aku harus mengulur waktu hingga mereka muncul.

Sejenak keheningan berjalan lambat mengisi kekosongan. Kutepuk-tepuk dadaku seolah memberi jeda pada obat jantung agar segera bereaksi. Setelah kutarik napas tiga kali kusemburkan pertanyaan pancingan.

 “Bagaimana kamu bisa menemukanku?” Terdengar absurd. Tapi hanya itu kalimat pembukaan yang bisa kulontarkan untuk mengulur waktu.

Dengus ejekan keluar dari mulut Rendy. “Kamu terlalu lama hidup dalam pelukan wanita hingga tidak mengikuti teknologi. Drone! Aku mengikutimu dari jauh.”

Kumaki diri. Aku terlalu sombong mengandalkan insting. Itulah kenapa tidak kulihat para penguntitku. Bahkan aku merasa tidak ada orang yang ikut memasuki hutan ini.

Kualihkan pembicaraan agar aku tidak terlihat bodoh. “Apa yang telah kulakukan sehingga membuatmu membenci diriku?”

Lelaki yang tingginya hanya sepundakku itu berjongkok. Mendekatkan wajahnya ke wajahku yang masih duduk bersimpuh. 

“Karena kelahiranmu telah merengut kebahagiaanku!” Dengus napas mengandung kebencian yang keluar dari hidung Rendy mendarat di wajahku.

“Apa maksudmu?” tanyaku benar-benar tidak mengerti.

Kakak lelakiku itu mengeluarkan ponselnya. Membuka fitur kamera, mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan mengarahkan layar ponsel ke wajah kami. Layar dipenuhi dua wajah kakak beradik laiknya penampilan karakter film “Beauty and The Beast.”

“Ya! Walau kita lahir dari Rahim yang sama, wajah dan penampilanmu seratus delapan puluh derajat denganku. Sejak kamu lahir dengan ketampananmu itu, seluruh kasih dan sayang mama dan papa tertumpah kepadamu. ‘Mainan untuk Rangga! Makanan untuk Rangga! Rangga yang tampan. Semua untuk Rangga!’” 

Rendy menunjuk dadanya. “Sedangkan aku?! Belajar, kerja keras, tanpa ada waktu untuk bermain. Harus begini, harus begitu, semua hal yang berat menimpaku! Aku muak atas semua itu!”

Hatiku serasa dicengkeram. Puluhan tahun bersama baru kali ini kakakku ini mengeluarkan keluhannya. 

“Tapi, bukankan kamu yang akhirnya menikmati? Seluruh kekayaan keluarga kita jatuh padamu.”

“Dengan mengorbankan masa remajaku? Huh! Kau pikir aku menghendaki itu? Kau pikir aku juga tidak ingin seperti anak-anak yang lain? Uang tidak bisa membeli waktu!”

“Maafkan aku ….” Kebencian yang tadi menggelegak tergantikan rasa kasihan. Aku, papa, almarhum mama, ikut andil merubah karakter Rendy seperti saat ini. 

“Semua sudah terjadi. Apa yang akan kaulakukan padaku?” desisku pelan.

Rendy berdiri, berjalan mendekati Om Herman, meludahi orang tua yang napasnya semakin memburu itu. “Cuh! Pengkhianat!” Kemudian ia kembali mendekatiku. 

“Bukan aku yang akan menentukan nasib kalian!”

“Siapa? Rekan mafiamu itu?” tanyaku sinis. Rasa kasihan yang tadi menyergap semakin menipis. Rendy sudah terlalu jauh.

Rendy tersentak. “Papa memberitahumu?”

Kuanggukkan kepala. Dia tersenyum sinis. 

“Apa yang membuatmu berubah, Ren? Kamu sudah kaya, penuh kuasa. Tidakkah itu cukup?”

Lelaki yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk perusahaan itu tertawa sumbang.

“Kekuasaan dan harta itu laiknya air laut. Semakin kau meminumnya, semakin tenggorokanmu tercekat. Kamu tidak akan bisa berhenti hingga terus meminumnya sampai kamu tak bisa menelan lagi.”

“Air laut yang kau minum akan membuatmu mati!” dengusku.

“Aku tak peduli! Bukankah hidup untuk itu? Uang, kuasa?!”

“Itulah kenapa kamu tidak pernah merasakan cinta.”

“Cinta?! Ha ha ha. Cih! Cinta hanya untuk manusia lemah.”

Aku tidak mau kalah. “Cinta akan membuatmu bahagia!”

Rendy mendekat. Dia menatapku dari ujung kaki hingga rambut. Kemudian menyemburkan kalimat pedas, “Cinta membuatmu sengsara! Atau paling tidak … membuat orang yang kau cintai menderita!

Mencintai adalah awal dari patah hati. Pasti, suatu hari nanti, kamu akan berpisah dengan orang yang kamu cintai. Kendatipun kamu bisa hidup lama dengan orang-orang yang kamu cintai itu, paling tidak kematian akan memisahkan kalian. Di saat itulah kamu atau mereka yang akan merana.”

“Kalau memang itu yang harus terjadi, setidaknya kami pernah bahagia. Tidak seperti dirimu. Kesepian, merana, laiknya pohon meranggas tanpa bunga!”

“Aaah! Sudahlah, tiada guna kita berdebat tentang jalan yang kita pilih. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Aku tidak bisa melindungimu walau sebagian darahku mengalir di tubuhmu,” pungkasnya.

“Aku tidak takut mati!”

Rendy mengedikkan bahu. Dia menoleh pada salah satu lelaki yang sedari tadi diam dengan pistol di tangan. “Jhon! Ikat mereka. Kita bawa ke markas!”

“Siap, Bos!” Pria itu menyarungkan pistolnya, mengeluarkan ikat dari plastik. 

“Tunggu! Om Herman memerlukan perawatan. Bawa kami ke rumah sakit!” teriakku.

Anak buah Rendy itu menghentikan gerakannya. Dia menatap Rendy. 

“Bawa dia ke markas. Seorang pengkhianat tidak layak mendapat belas kasih,” dengus Rendy.

“Dia akan mati kehabisan darah bila tidak segera mendapat perawatan! Please, Rendy. Kasihani Om Herman. Mungkin dia pernah melakukan kesalahan, tetapi Om Herman pernah berjasa besar ikut mengembangkan perusahaan kita. Membantumu sekuat tenaga. Ingat jasa-jasanya.”

Lihat selengkapnya