Sesuai rencana Kayla, polisi menemukan mayat Om Herman, Rendy, berikut narkotikanya.
Menurut penyidikan pihak berwajib, Rendy mengejar Om Herman yang membawa lari narkotika milik Rendy. Ketika Rendy menemukannya, keduanya berkelahi dan saling membunuh.
Sidik jari Herman ada di pisau, dan sidik jari Rendy ditemukan di pistol. Sedangkan jejak dan sidik jari selain kedua orang itu tidak diketemukan. What a perfect scenario!
Sebulan setelah kejadian itu wajah Kayla kerap menghuni layar televisi, koran, dan majalah.
Berdasarkan data-data perusahaan Maheswara yang didapatnya, wanita besi itu berhasil menguasai saham mayoritas Maheswara. Melalui sumber dana dari asing yang tidak terbatas, dia mengakuisisi semua bisnis Maheswara beserta cabang-cabangnya.
Papa menangis tersedu mendengar penjelasanku. Air matanya berhamburan membayangkan kisah tragis Om Herman. Dadanya seperti meledak saat mendengar permintaan maaf terakhir anak sulungnya.
Kami saling menghibur. Saling mengingatkan bahwa kehidupan ini hanyalah sementara, tidak lebih dari sekadar mampir minum. Untunglah celoteh cucunya memberi kekuatan papa untuk bangkit kembali.
Beberapa minggu setelah transplantasi sumsum tulang, Hana bisa berkumpul dengan kami di apartemen kecil yang kami sewa. Satu minggu sekali kami membawanya untuk melakukan kontrol kesehatan. Selama empat bulan dia harus melakukan tes darah untuk memastikan sel induk donor tidak berdampak buruk.
Keajaiban Tuhan, tidak ada efek samping sama sekali. Tubuh anakku menguat. Rambutnya tumbuh, celotehnya semakin menjadi-jadi. Hari-hari menunggu kepulangan terisi tawa dan candanya.
Misto, Tuti dan neneknya berteriak gembira mendengar keponakannya sembuh. Mereka mengadakan syukuran di kampung untuk kesembuhan Hana. Mengundang tetangga makan bersama, membagikan sedekah pada panti asuhan.
Tuti melahirkan anaknya dua bulan lalu, perempuan. Tidak mau kalah dengan Hana, dia memberi nama anaknya “Sakura”. Berharap menjadi bunga pendamping bagi ponakannya. Semua keluarga berharap kami cepat pulang. Kol, wortel, kentang, dan tanaman lain menanti untuk dipanen.
Setelah menyelesaikan perawatan intensif, Dokter Rudi memberi ijin kepulangan dengan syarat: secara berkala kami harus memeriksa darah dan kesehatan Hana di rumah sakit terdekat di kota kami.
Tanpa menunda waktu kami bersiap. Terutama Hana yang paling tidak bisa ditahan. Dia berlari mengitari ruangan, meloncat di taman, bersorak gembira. Jiwanya adalah bagian dari kehidupan Gunung Bromo. Kini jiwa itu menuntut untuk kembali.
Semangat papa untuk sehat menggelora. Wajahnya berubah segar. Tubuh tuanya berevolusi menjadi muda kembali. Tiap hari dia berusaha bangkit dari kursi roda, menjalani rehabilitasi tanpa kenal lelah. Celetuk dan kemanjaan cucunya memberi tenaga.
Empat bulan bertarung dengan rehabilitasi, papa akhirnya sanggup mengatasi penyakitnya. Dia meninggalkan kursi roda, berganti dengan penopang satu tongkat kruk di ketiaknya.
Dari segala kegembiraan menyisakan satu kesedihan. Papa akan kembali sendiri kala kami harus kembali ke desa.
Kuminta papa untuk ikut denganku, menghabiskan masa tuanya di lereng Gunung Bromo. Namun dia menolak. Teman-temannya sesama penghuni panti jompo adalah tempat untuk berbagi cerita, katanya. Walau aku tahu alasan sebenarnya adalah papa tidak ingin membebaniku.