Zenist tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah sedrastis ini. Dia hanya menginginkan kebahagiaan, tetapi dunia seakan tak mengizinkan. Sepanjang hidup, dia hanya menjerit, menahan rasa sakit, dan meringkuk di sudut.
Bukan hanya kebahagiannya. Kebahagiaan orang terdekatnya pun ikut lenyap bersama arus waktu yang mengalir tanpa kenal lelah. Senyum lebar yang hampir terlupakan itu mengambang kembali di permukaan pikiran. Senyum tersebut terang, menyilaukan, bahkan melebihi raja siang. Namun, masa merebut itu dari genggamannya.
Setiap cahaya yang padam selalu memberi rasa sakit yang membekas. Rasa nyerinya masih bernaung dalam diri, menyiksa hati tanpa kenal lelah.
Di tengah ruangan yang kelam kabut, seorang wanita menutup mata di pangkuannya. Wanita tersebut tersenyum, terlelap dalam balutan hangat dekapannya.
Seraya air mata berlinang, dia melirih pada wanita tersebut, “Ruki, buka matamu!” air matanya meleleh, mengaliri pipi sebelum akhirnya terjun pada wanita itu. Namun, butiran air tersebut gagal menarik kesadaran wanita itu.
Tak lagi terisak. Kini Zenist tertunduk. Wajahnya tenggelam dalam bayangan, merasakan tikaman tak kasatmata yang bernaung di badan.