Biru, hijau, dan putih. Tiga warna tersebut mendominasi penglihatan Zenist. Angkasa dengan gumpalan uap air yang berarak mengikuti sang bayu, serta alang-alang yang hendak menggapai langit. Benar, alang-alang tersebut begitu tinggi di matanya.
Di sanalah dia berbaring, menghadapi angkasa.
“Di mana aku?” dia bertanya pada kekosongan, berharap seseorang akan menjawab. Namun, tak satu pun jawaban yang terdengar. Dia perlu bangkit dan mencari tahu keberadaannya.
Ketika awan bergerak lebih cepat, senyum sang surya pun menyorot mata. Silau, dia pun berpaling dan menatap ilalang hijau yang tumbuh di sekitar.
Ketika sinar kembali redup, dia pun berpaling, menatap sekitar. Hal pertama yang dia sadari adalah ukuran rerumputan yang menjulang langit. Lebar satu daun tersebut sama dengan telapak tangannya. Tentu itu membuatnya bertanya-tanya tanaman macam apa itu? Tetapi dia segera berpaling.
Matanya terbelalak ketika menyadari selonjor besi menembus perut.
“Haaaaarrgggh ...” dia meraung, terkejut akan logam yang bernaung di tubuh. Jantungnya mulai berpacu dengan waktu, memompa darah lebih cepat dan menyebabkan cipratan dari besi tersebut.
Dua tangannya segera menggapai besi tersebut. Tak berpikir lebih panjang, dia menarik besi itu dari perut. Keringat mulai merembes dari pori-pori kulit dan menetes ke tanah. Namun, besi itu tak kunjung tercabut.
“Aaarrrghh!” dia kembali menjerit, mengerahkan sisa tenaga demi mengeluarkan logam tersebut dari badan.
Tak lama kemudian, besi itu pun berhasil dicabut. Tangan kiri membuang logam yang baru saja tinggal di perut, sedangkan tangan kanan meraih lubang yang tersisa. Namun, telapak tangannya tak menemukan apa pun di tembolok.
“Ha? Apa yang terjadi?” pada kekosongan dia bertanya. Bola matanya mengunci perut sendiri, sedangkan pikiran mencoba mencari tahu jawaban atas pertanyaan di kepala. Namun, kejadian itu tak masuk akal.
Dia yakin bahwa perutnya tertusuk besi, tetapi tak ada luka yang tersisa ketika besi itu dicabut. Saat itu pula, dia menyadari hal lain.