Langit cerah tak lagi menyambut Zenist ketika membuka mata. Kali ini dia mendapati angkasa hitam. Butiran-butiran cahaya bertabur di tiap sisi. Dewi malam tersenyum indah, menerangi dunia yang ditelan kegelapan.
Zenist bangkit, memperhatikan tiap-tiap bagian tubuh. Entah kenapa semuanya masih menempel. Jangankan tubuh yang tercerai, luka gores pun tak dia miliki.
Jika ingatannya benar, maka seharusnya dia sudah mati karena dimakan Macan. Setidaknya itu yang dia harapkan. Namun, entah kenapa dia berhasil membuka mata kembali. Tidak mungkin jika Macan itu menidurkan dan meninggalkan mangsa begitu saja. Mereka bukan dokter yang merawat pasien.
Pelan, tangan kanannya menggaruk kepala. Terlalu banyak yang tidak bisa dicerna oleh pikirannya. Karena itu, dia memutuskan untuk mencari tempat untuk mati terlebih dulu.
Matanya berkeliling, mencari tahu lokasinya. Sepertinya dia tidak berpindah dari lokasi, siang, tadi. Alang-alang yang menjulang langit pun masih ada di belakang punggungnya. Pepohonan raksasa juga tak berpindah dari hadapan.
“Eh?” hidungnya menemukan bau besi. Perhatiannya berpindah, menatap tempatnya berbaring. Bukanlah rerumputan hijau yang dia temukan, tetapi rerumputan dengan warna merah yang menggumpal di tiap helai. Akhirnya Zenist pun menyadari bahwa dia tengah berbaring di genangan darah.
“Darah siapa ini?” dia tak yakin bahwa itu adalah miliknya, mengingat bahwa dia tak memiliki luka. Namun, dia memilih untuk mengesampingkan itu dan bangun.
Untuk sesaat, dia tak tahu harus melangkah ke mana. Masuk kembali ke dalam lautan ilalang atau masuki hutan pohon raksasa. Pilihan yang mana pun pasti akan berbahaya. Namun, memang itu yang dia cari.
“Kurasa aku akan mencari hewan yang bisa membunuhku,” ucapnya sambil melakukan peregangan. Setelah beberapa saat, akhirnya dia angkat kaki dan memasuki hutan.
Langkah demi langkah diambil. Suara gesekan daun kering menabuh gendang telinga. Udara menusuk kulit, membuatnya gemetar. Namun, dia tak menemukan apa pun untuk dijadikan penghangat tubuh. Keadaan itu kembali membuatnya berpikir, kenapa dia bisa berakhir telanjang di hutan?
Semakin tenggelam ke kedalaman hutan, Zenist semakin menggigil. Tubuhnya tak lagi kuat menahan dingin yang menembus tulang. Ketika dia berpaling ke belakang, dia tak menemukan jejak kakinya. Mungkin hilang karena tertiup angin atau karena dia tak bisa melihat jejak tersebut.
Setelah semuanya, terlalu gelap untuk melihat. Sinar lintang dan rembulan tak dapat menembus dahan, ranting, serta dedaunan berukuran ekstra besar di sekitarnya. Jarak pandangnya pun hanya sekitar tiga meter.
Di setiap langkah yang dia ambil, tulang punggungnya semakin tertusuk udara dingin. Dia merasa seseorang tengah mengawasinya. Dia merasa bahwa langkah selanjutnya akan membawanya pada kematian. Karena itu, dia terus bergerak dan berharap akan ada hewan buas yang melahapnya. Namun, itu tidak terjadi.
Entah berapa lama dia berjalan, tetapi dia tak menemukan hal lain selain bayangan yang menelan segalanya.
“Sial!” umpatnya.