Fantasi

Raden Maesaroh
Chapter #2

Bab 2

Pagi itu setelah Eugene sarapan pagi, ia bersiap untuk pergi. Ia mengenakan pakaian yang sederhana, gaun maxi berwarna putih dengan motif karangan bunga pengantin di bagian kiri dan kanannya menutupi hampir semua bagian tubuhnya. Rambutnya yang berwarna kecoklatan ia kepang longgar di pinggir dan setelah itu kepalanya ia hiasi dengan topi baret wool berwarna kuning senada dengan warna sepatunya yang tanpa hak. Telinganya dihiasi dengan anting berbentuk lingkaran dengan ukiran bunga sakura. Tak lupa ia menenteng tas jinjingnya dan kacamata hitam yang melindunginya dari matahari.

Tujuan pertama adalah Shinsegae. Itu sebuah pusat perbelanjaan. Dia tak lama berada di sana sebab orang-orang mulai memperhatikannya, jadi ia denagn cepat keluar dari sana dan memilih jalan-jalan di sekitar jalan Kim Gwangseok, tapi menghindari tempat-tempat yang cukup ramai oleh orang. Ia mengunjungi Pusat Belanja Pyeonghwa dan membeli jeruk di sana. Setelah itu, ia pergi ke Gereja Gyesan. Di dalamnya dia hanya duduk dan mengamati keindahan di dalamnya. Dia bukan penganut agama Kristen, dan sebenarnya dia bukan seorang penganut agama. Namun, Eugene mengakui bahwa ia selalu mendapatkan ketenangan di tempat-tempat religius seperti itu.

Sebenarnya ia masih ingin berjalan-jalan di sekitar hotel, tapi ia hanya punya waktu tiga jam saja sebelum akhirnya pembukaan untuk acara promosi dimulai dan tentunya ia harus bersiap-siap. Jadi, ia putuskan untuk pulang. Namun, saat di perjalanan pulang ia menemukan sebuah toko bunga dan ia pikir hanya setengah jam melihat-lihat dan membeli bunga Calla Lily kesukaannya tidak akan membuatnya terlambat menghadiri acara yang sudah dijadwalkan. Jadi, dia memutuskan memasuki toko itu.

"Selamat datang," ucap seorang lelaki yang berdiri di balik meja tengah merangkai bunga. Lelaki itu seperti terpesona oleh Eugene sebab ia berdiri mematung sejenak menatapnya dan hal yang sama dilakukan oleh Eugene. Mereka bertatapan sejenak, tapi kemudian kembali pada kesadarannya masing-masing saat beberapa anak sekolah perempuan masuk ke dalam dan sang lelaki yang entahlah pemilik atau penjaga toko itu mengatakan 'selamat datang' kepada mereka yang baru saja masuk.

Mereka hampir menabrak Eugene yang masih berdiri di dekat pintu, tapi Eugene yang juga baru tersadar dari tatapannya itu dengan cepat meminggir dan setelah cukup tenang, ia menghampiri lelaki itu.

"Permisi!" sahutnya dengan suara yang lirih.

"Ye," ujar sang lelaki.

Ia menatap sebentar Eugene tapi kemudian mengalihkan pandangannya. Lelaki itu memang terlihat agak dingin dan sebenarnya ini tidak bagus jika ia bekerja untuk melayani orang sebab keramah-tamahan adalah kunci utama dalam pelayanan. Namun, Eugene mengabaikannya karena ia berpikir lain tentang lelaki itu.

"Aku mencari bunga Calla Lily. Di mana tempatnya?" tanya Eugene dengan sopan.

"Ah, Gogaeg-Nim ingin warna apa?" tanya sang lelaki, tapi ia tak menatap Eugene tetapi pada sebuah pojok.

"Putih," jawabnya.

"Oh, itu ada di lorong kedua di pojok," jawabnya dengan sopan.

"Terima kasih," ujar Eugene dan ia berjalan menuju tempat yang lelaki itu tunjukkan.

Sementara itu, sang lelaki mengamati anak-anak sekolah perempuan yang tengah berbisik-bisik satu sama lain sambil sesekali pandangan mereka ia arahkan pada Eugene. Mereka terlihat sangat antusias dan saling mendorong untuk mendekati Eugene. Eugene tentu saja menyadarinya, tapi ia mencoba untuk berpura-pura untuk tidak melihatnya. Ia mengambil tujuh tangkai bunga itu dan segera berjalan ke pojok lain untuk menghindari mereka lalu berbelok menuju tempat lelaki tadi berasal.

"Aku ingin membeli ini," ujar Eugene sambil memberikan semua bunga yang ia bawa kepada lelaki itu.

"Iya," jawab sang lelaki dan dengan cepat mengambil bunga yang diberikan Eugene.

"Apakah Agassi ingin membungkusnya dan menghiasnya?" tanya lelaki itu.

"Tidak. Aku tidak akan mengirimkan bunga itu. Itu untukku sendiri," jawab Eugene.

"Begitu. Jadi, tentunya tidak memerlukan kartu?" tanya sang lelaki itu lagi.

"Iya, benar." Eugene menjawab sambil menganggukkan kepalanya.

"Oh, tapi mungkin di kamar hotel tidak ada vas bunga," katanya dengan suara pelan, tapi sang lelaki mendengarnya.

"Apakah Gogaeg-Nim memerlukan vas bunga?" Ia bertanya dengan ramah.

Lihat selengkapnya