Thariq teman yang aneh. Karena keanehannya, kadang Khanza berpikir bahwa Thariq adalah alien.
Sejak dahulu, Khanza memang percaya bahwa alien itu ada dan bentuknya seperti manusia—atau menyamar dengan bentuk manusia. Khanza berpikir, para alien datang ke Bumi sejak ribuan tahun lalu, beranak pinak, dan pada generasi kesekian, jadilah makhluk di depannya saat ini.
Makhluk itu memandang Khanza penuh selidik.
“Mengakulah! Kamu, kan, yang menyembunyikan HP-ku?”
Orang gila, pikir Khanza. Kok, bisa dia berkesimpulan aku yang menyembunyikan HP-nya? Padahal, selama 1 jam terakhir, aku duduk manis di bangkuku, tepat di depannya, memperbaiki gambarnya. Kenapa sekarang aku jadi tersangka?
Tuduhan Thariq mencederai ketulusan Khanza. Dia sudah menggunakan segenap kemampuan artistiknya, mengorbankan waktu dan tenaga untuk memperbaiki sketsa perkotaan Thariq yang serupa gunung sampah demi nilai seni yang lebih baik, tapi sekarang orang itu justru menuduh Khanza menyembunyikan HP-nya.
HP adalah urusan hidup dan mati Thariq. Kalau HP itu perempuan, maka dia pacar Thariq. Kalau HP itu laki-laki, maka ia saudara Thariq. Meskipun, HP itu sebenarnya hanya benda elektronik—dan memang kenyataannya begitu— tetap saja benda itu merupakan urusan hidup dan mati Thariq. Khanza tahu benar hal itu karenanya tuduhan Thariq jelas bukan tuduhan sembarangan. Saat ini, Thariq seolah sedang menodongkan revolver tepat di kening Khanza.
“Tidak, bukan aku!” sangkal Khanza.
“Kamu.”
“Bukan.”
“Kamu!”
“Bukan!”
“Kamu!!!”
“Bukan!!!”
“Ah, kapan selesainya kalau begini terus?”
“Ini enggak akan pernah selesai kalau kamu cuma nuduh-nuduh aku.”