Khanza menggosok-gosokkan telapak tangan pada tali ransel ungu yang digendongnya. Khanza berharap langit sore itu teduh. Tapi, ketika dia memandang ke cakrawala, matahari merangkak ke tem-pat tidurnya sambil memuntahkan cahaya oranye ke angkasa.
Oranye bukan warna favorit Khanza. Warna itu membuatnya kepanasan, entah kenapa.
Khanza tidak punya alasan untuk mengendarai motor ke sekolah atau merengek minta dijemput ibunya yang cuek. Rumahnya hanya berjarak 1,5 kilometer dari sekolah. Mengendarai sepeda juga bukan ide bagus. Rok seragamnya terlalu sempit, sementara sepeda milik Khanza jenis sepeda gunung.
“Mau bareng aku?” tanya Thariq ketika mereka berpapasan di gerbang. Sudah tiga kali Thariq melontarkan pertanyaan yang sama, di tempat yang sama, juga kepada orang yang sama. Dan, jawabannya pun tetap sama, “Enggak, terima kasih. Aku suka jalan kaki.”
Thariq salah satu cowok populer. Khanza tidak ingin menjadi bahan gosip cewek-cewek satu sekolah. Khanza menekan keluhan-keluhan di kepalanya dengan terus melangkahkan kaki. Sebelum mencapai belokan gang menuju rumahnya, mata Khanza menangkap keramaian di jembatan sungai. Puluhan orang berdiri di pinggir pagar jembatan dengan badan condong melihat jauh ke bawah air sungai. Beberapa pengendara motor bahkan berhenti untuk bergabung.
Beberapa detik kemudian, Khanza mendapati dirinya turut bergabung. Bedanya, dia tidak hanya berdiri, tapi juga menatap nyalang pada tubuh yang mengapung di atas sungai.
Ransel ungu bunga-bunganya menghantam trotoar.