Perjalanan menuju Mica kali ini terasa sendu. Jalanan menanjak yang berkelak-kelok sedang kami lalui. Pohon-pohon pinus di samping jalan menjadi pemandangan menyejukkan. Perjalanan bersama mereka tidak lagi terasa menyenangkan. Hak-hakku dirampas. Ketenaranku merosot. Aku bukan lagi bagian dari agensi musik mana pun. Ini semua gara-gara kecelakaan tiga bulan lalu.
Semuanya telah berubah semenjak tragedi itu. Setidaknya aku harus tetap berdiri, walau kini hanya dengan satu kaki. Bukan makna kiasan, ini sungguhan. Kursi roda yang kini akan membawaku ke mana-mana. Memakai sepatu hak tinggi rasanya tak mungkin lagi.
Kapan aku bisa menerima kenyataan pahit ini?
Aku tidak bisa menjawab itu. Aku terlalu lelah. Aku lelah terluntang-lantung di alam fana hampir tiga bulan lamanya. Antara hidup dan mati. Energi batinku sudah terkuras habis. Makhluk-makhluk itu membiarkanku memilih, dunia atau akhirat? Kujawab “dunia”, maka aku kembali lagi dengan segala konsekuensinya.
Percaya atau tidak, aku hilang ingatan tentang halhal kecil dalam hidupku. Aku lupa tempat terakhir kali aku tampil sebelum kecelakaanku. Aku lupa nama managerku. Aku lupa semua rumus Matematika yang pernah kupelajari. Dan aku lupa siapa kamu.
Di dalam mobil, hanya ada aku dan kedua orangtuaku. Aku benci situasi ini. Terlalu hening. Aku memilih untuk pura-pura tidur. Saat mencoba untuk tidur, aku malah meneteskan air mata. Momen ini begitu emosional. Ada sesuatu dalam diriku yang hilang.
Mobil kami berbelok, memasuki sebuah pekarangan rumah di West Xoviets Hill. Rumah Anne. Rumah besar itu terlihat hangat. Anne berdiri menyambut kami.
Selamat datang di calon rumah baru.
“Kita sampai!” kata Ibu pura-pura ceria.
“Keluarga David akhirnya tiba juga. Ayo, masuk! Pasti lelah sekali setelah melakukan perjalanan panjang dari Amsterdam,” ajaknya dengan ramah.
Aku menatap sekitar. Sebatang pohon beringin yang kekar tumbuh subur di halaman rumah. Di bawahnya, terdapat ayunan dari ban mobil yang menggantung dari pohon. Ayunan tersebut tampak lusuh. Seperti tak pernah dimainkan selama bertahun-tahun. Lalu, aku menengadah ke atas. Langit jingga sedikit tertutupi oleh dedaunan pohon menandakan malam akan segera tiba.
Ayah menggendongku hingga ke kamar yang telah disediakan oleh Anne, sedangkan Ibu membawakan kursi roda lipat dari bagasi mobil. Rumahnya yang hangat membuatku tidak sedih-sedih amat untuk tinggal di sini. Kamarku telah ditata sedemikian rupa menjadi kamar bergaya vintage, dan aku sangat suka! Beberapa barang kesayanganku yang lebih dulu dibawa ke sini juga sudah ditata rapi. Ayah membaringkanku di ranjang yang empuk. Ibu dan Anne juga menghampiriku.
“Nah, Serafina. Mulai saat ini, kamu tinggal bersama Bibi Anne. Oke?” kata Ayah, mengusap-usap kepalaku.
Aku mengangguk keki.
“Ibu dan Ayah bisa menjemputmu kapan saja. Mung-kin tahun depan, dua tahun lagi, atau mungkin ketika umurmu dua puluh tahun. Dan kami pikir, melihat kondisimu saat ini, kami memutuskan bahwa kamu tidak akan menjadi artis lagi. Selamanya,” kata Ibu, tegas.
“Selamanya?!” jeritku terperangah.
Ibu dan Ayah mengangguk. “Se-la-ma-nya.”
Itu artinya, tidak ada jadwal tampil lagi, tidak ada penggemar lagi, tidak ada cahaya blitz lagi, tidak ada gaungaun bagus lagi, tidak ada apa pun lagi. It’s nothing.
“Sejak kecelakaan tiga bulan lalu, kamu terlihat murung, Sayang. Kamu butuh sesuatu yang baru. Kami yakin ini tempat yang tepat untuk mencari kehidupan yang baru. Lingkungan yang tenang akan membawa suasana hatimu kembali membaik,” terang Ayah.