Anne mengantarku ke sekolah baru dengan mobil VW kodoknya yang berwarna kuning cerah. Kami tiba di Marshall pukul 8.15. Kami terlambat. Gerbang sudah terlihat sepi.
“Aku antar kamu sampai kelas, ya?” tawar Anne sambil hendak mendorong kursi rodaku.
Aku langsung menggeleng sembari memasang masker untuk menutupi mulut dan hidungku. “Tidak usah, Anne. Aku bisa sendiri,” tolakku.
“Serius? Nanti kamu cepek mendorong kursi rodamu sendirian. Biar aku saja yang membawamu hingga ke kelas.”
Raut wajahku berubah kesal. “Tidak usah, Anne! Biarkan aku sendiri saja. Seperti yang Anne bilang semalam, semuanya akan baik-baik saja.”
Anne menghentikan kursi rodaku lalu berlutut di
hadapanku. “Kamu yakin, Serafina? Aku khawatir. Tapi, untuk sekarang aku menuruti permintaanmu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, oke?”
Aku mengangguk sambil tersenyum manis. Anne merogoh tasnya lalu menyerahkan padaku sebuah ponsel pintar. “Ini untukmu. Ada nomorku di sana.”
Aku mengangguk senang. “Oke.”
Anne bangkit berdiri, lalu menyaksikan kepergianku hingga menghilang di belokan koridor. Jalanan sangat mulus, memudahkanku untuk menggerakkan kursi roda terkutuk ini. Koridor sangat sepi. Mungkin, murid-murid Marshall sedang belajar di kelas masing-masing.
Aku celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Di manakah kelasku? Setibanya di ujung koridor, ada sebuah tangga yang cukup lebar menuju lantai dua. Bagaimana aku bisa naik ke atas sana? Kakiku hanya satu.
“Ehm,” dehem seseorang.
Aku memutar kursi roda. Seorang perempuan yang mengenakan seragam Marshall berdiri sambil melipat tangan serta menatap ke arahku dengan begitu berani. Wajahnya terlihat masam.