Aku menjinjing koper dari pintu gerbang hingga halaman asrama. Hm, asrama Mentari Junior High School ini sangat menyenangkan. Ditambah lagi, letaknya yang dekat Gunung Tangkuban Parahu dan beberapa desa yang asri, sehingga udaranya dingin dan segar.
Aku sudah tidak sabar bertemu Gina. Setelah beberapa minggu berpisah, aku jadi kangen kepadanya. Aku juga ingin bertemu Afri dan Diva lagi. Ingin bercerita kejadian tahun lalu ketika masih kelas 7. Pencurian kamuflase yang membawa kami ke petualangan seru. Semoga setelah ini, tidak ada lagi kejadiankejadian aneh di asrama.
Kamarku yang berada di sebelah gudang dan TU aku tinggalkan. Kamar itu akan diisi siswa kelas 7 tahun ini. Kamar anak kelas 8 berada di lantai 2. Tapi, aku ingin mampir dulu sebentar ke bekas kamarku itu untuk melihat rangkaian mutiara di depan ruang TU. Setelah itu, aku akan naik ke lantai 2 dan menuju kamarku yang baru.
“Sekar!” Suara yang sangat kukenal memanggil.
Aku menoleh. Kulihat wajah manis itu tersenyum kepadaku.
“Gina, akhirnya kita bertemu lagi!” Aku memeluk Gina erat.
Gina mengangguk-angguk dan melepaskan pelukannya. “Semoga kita sekamar lagi, ya.”
Aku mengangguk. Dari jauh kulihat seseorang melambai ke arahku.
“Sekar, ini aku, Afri!”
Aku meloncat girang lalu menghampiri Afri dan menyalaminya. Dia tampak sedikit berbeda. Bajunya terlihat lebih rapi dibandingkan saat kelas 7.
“Hai, apa kabar? Aku kangen, lho, sama kalian. Aku ingin berpetualang lagi bersama kalian!” Afri menepuk pundakku dan Gina.
“Tapi, aku berharap tidak ada kejadian aneh lagi ....” Aku nyengir.
“Iya ..., aku capai, ah! Setelah kejadian penculikan terhadapku dan Diva di GhostFish tahun lalu, aku jadi malas berpetualang,” komentar Gina.
Afri tertawa kecil. “Tapi, saat masalah datang, kalian pasti bersemangat untuk memecahkannya. Ya sudah, aku pergi ke tempat teman-temanku dulu, ya.” Afri melambaikan tangan ke arahku dan Gina.
Aku dan Gina membalas lambaiannya.
Setelah agak jauh berjalan, Afri menoleh lagi lalu berteriak. “Oh, Sekar, Gina, jangan lupa memberitahukan nomor kamar kalian kepadaku lewat SMS!”
“Oh, tentu saja,” jawabku setengah berteriak.
Afri tersenyum dan kembali berjalan.
Aku menoleh ke arah Gina. “Sebaiknya kita segera ke meja informasi untuk mengetahui nomor kamar kita.”
Gina mengangguk setuju. Dia lalu menarik tanganku masuk ke asrama.
“Assalamu ‘alaikum .... Eh, Miss jadi bekerja di bagian informasi?” tanyaku kepada Miss Diah, guru Matematika, sambil menyalaminya.
“Wa ‘alaikum salam, Sekar, Gina,” jawab Miss Diah. “Tidak. Ini karena Miss Resti sudah keluar kerja dan kabarnya akan ada pegawai baru yang menggantikannya. Jadi, untuk sementara Miss mengisi meja informasi yang kosong ini.”
Gina mengangguk-angguk. “Oh, begitu, Miss. Miss, kami ingin menanyakan nomor kamar. Boleh, kan?”
Miss Diah tertawa. “Of course, Sayang. Anak-anak lain telah menanyakannya sejak tadi. Sepertinya kalian sedikit terlambat.”
Miss Diah membuka-buka tumpukan kertas tebal yang agak lecek. Lalu, sedikit tersenyum cerah ketika menemukan nama yang dicarinya.
“Ehm, kalian di kamar nomor 45. Di paling pinggir dekat balkon. Kalian cari saja sendiri, ya? Miss masih sibuk.”
“Kami? Maksudnya kami sekamar lagi, Miss?” tanyaku dengan senyum cerah.
Miss Diah mengedipkan sebelah mata. “Yap, benar sekali. Ini Miss yang mengatur, lho. Miss, kan, tahu kalian sepasang sahabat. Jadi, Miss tidak memisahkan kalian.”
Aku dan Gina berpelukan gembira. “Lalu, apakah kami sekamar lagi dengan Diva, Miss?”
Miss Diah mengerutkan kening lalu membuka tumpukan kertas lagi. “Maafkan Miss, Sayang. Ternyata kalian satu kamar dengan seorang anak baru, namanya Sistamalangga Priwulan Sa ... se ... so ..., ah, entahlah. Namanya terlalu susah!”
Aku terkikik. “Ya, sudah tidak apa-apa, Miss. Kami akan langsung menuju kamar. Terima kasih informasinya, Miss.” Aku melambaikan tangan.
“Sama-sama, Sayang. Jangan lupa, satu setengah jam lagi kalian harus sudah berdiri di lapangan,” jawab Miss Diah.
“Siap, Miss,” jawabku sambil menarik tangan Gina menuju eskalator.
Setelah membereskan kamar, tanganku pegal-pegal. Untungnya desain kamarku ini sangat rapi. Siapa dulu, dong, yang mengaturnya.